EKSISTENSI PANCASILA DALAM LINGKARAN PANDEMI

EKSISTENSI PANCASILA DALAM LINGKARAN PANDEMI

 

Gambar: suara.com


Ada dua hal yang lebih genting dari sekedar meributkan peristiwa yang kerap menjadi perdebatan saban September; nyawa dan niaga. Jika keduanya terguncang maka sekarang dan esok adalah lagu tanpa langgam.

Sejak kasus pertama terdeteksi pada bulan Maret, respons pemerintah memang lambat, tetapi barangkali telah menyiapkan skenario sedemikian rupa. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pemberlakuan PSBB rupanya mendapatkan respons beragam dari masyarakat. Berdasarkan analisis pribadi, bahwa instruksi presiden, menteri, gubernur dan walikota , tidak begitu digubris masyarakat. Kenapa bisa terjadi seperti demikian? Tingkat ekonomi masyarakat yang berbeda bahkan cenderung timpang merupakan salah satu indikasi apatisme tersebut. Instruksi pemerintah pusat dan daerah agar masyarakat disiplin dengan protokoler 3M lebih riuh di media sosial daripada realitas. Pada kenyataannya habit atau kebiasaan masyarakat untuk menggunakan masker, cuci tangan dan jaga jarak adalah PR terbesar dari pendidikan selama ini. Wajah pendidikan semacam diacak - acak sedemikian rupa akibat dari kebiasaan hidup sehat belum mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.

Padahal negara muslim terbesar di dunia ini mengenal istilah kebersihan sebagian dari iman, yang pada kenyataannya jauh panggang dari api. Ketika serangan wabah membabi buta dengan tingkat penyebaran dan kematian yang tinggi, keadaan semakin kisruh dengan libido kekuasaan, baik dari pemerintah maupun oposisi. Isu - isu liar tersebar dengan cepat ke beranda pikiran masyarakat melalui media sosial. Antara mempertahankan ekonomi dengan nyawa , ibarat buah simalakama. Keadaan dilematis ini belum berhenti. Saling sikut ihwal siapa yang merasa layak dan tidak mengurus negeri ini kian meracuni. Satu - satunya jalan selamat adalah mematikan gawai/ HP, laptopTV dan tak usah berpihak pada yang kanan atau yang kiri. Lebih baik jadi diri sendiri dengan kesadaran tinggi. Jadi, negeri macam apa ini? ( Vudu Abdurrahman, Wali Mata Rumpaka)

Membaca pernyataan ini di media social, membuat saya tersentak. Apa yang dikatakan Wali Mata Rumpaka ini adalah cerminan apa yang terjadi sekarang. Selama hampir tujuh bulan kita bangsa Indonesia teruji dengan adanya pandemi. Mulai dari pendidikan, keamanan, kesehatan, ekonomi politik hingga semua lini. Pemerintah telah memberikan kebijakan yang sungguh - sungguh. Namun jika melihat di sekeliling kita, bisa dinilai tingkat respon masyarakat terhadap berbagai aturan ini. Seperti aturan untuk memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan (3M).

Ada yang sungguh sungguh menjalankan protokoler kesehatan dengan baik , namun banyak juga yang sepertinya  mendengarkan dengan baik namun tidak benar - benar menjalankannya. Hal ini tentu saja bukan mengurangi jumlah tapi malah menambah masalah. Dari hari ke hari semakin banyak yang positif Covid 19, semakin banyak yang kehilangan dan semakin banyak yang tidak mengindahkan.

Di satu sisi terjadi banyaknya PHK dan bisnis yang menurun, menyebabkan ketimpangan ekonomi. Beruntung pemerintah masih menggelontorkan dana kepada pihak - pihak yang terdata perlu mendapat bantuan. Namun realitas dalam pembagiannya, masih banyak yang belum tepat sasaran. Memang sebagai negara Pancasila yang menerapkan prinsip-prinsip karakter terpuji, seharusnya nilai kebiasaan yang baik sudah melekat pada diri kita. Namun kenyataannya malah sebaliknya.  Sebenarnya Indonesia lebih banyak butuh teladan, untuk mengaplikasikan jiwa pancasila.

Negara kita berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita lihat di sekeliling kita, betapa banyak yang masih saling membenarkan agama sendiri - sendiri. Merasa agamanya paling benar sehingga merendahkan pemeluk agama lain. Kalau kita lihat ini bukan merupakan representasi dari sila yang pertama. Lihat sekitar kita, banyak orang yang mementingkan diri sendiri. Menekan orang-orang dibawahnya. kita bertanya tanya apakah kehidupan kita sudah mendekati sisi kemanusiaan itu? Kemanusiaan yang adil dan beradab. Apakah sudah sesuai dengan sila ke 2 kemanusiaan yang adil dan beradab?

Selanjutnya  jika kita bicara tentang persatuan, kita lihat sekarang itu seolah olah orang suka saling bertempur, saling menyingkirkan, saling membenci, menganggap yang lain musuh dan menebar ujaran kebencian di media sosial.  Rasa persaudaraan kebangsaan seperti telah terkikis. Apakah ini yang dimaksud persatuan Indonesia? Sesuai dengan sila ke 3? Apabila berbicara prinsip kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, apakah prinsip - prinsip musyawarah ini sudah terealisasi dalam kehidupan kita? Jika kita lihat dalam kehidupan nyata dan maya sering kita temui orang - orang yang  masih ingin  menang sendiri, bawaannya saling mengalahkan. Di medsos perdebatan tak ada habisnya. Apalagi bila pendukung yang berbeda. Sama sama mencari kebenarannya sendiri - sendiri.

Pada point keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kita lihat di sekitar. Masih banyaknya ketimpangan dari ekonomi hingga sosial. Menonjolkan perbedaan tanpa mengindahkan persatuan. Jika semua masyarakat dari Sabang sampai Merauke tidak mengambil prinsip itu, maka selamanya Pancasila hanya menjadi simbol, dan itu yang seringnya terjadi, hanya lambang namun tidak terinternalisasi pada karakter diri kita. Ruh dari Pancasila itu sebenarnya adalah keteladanan. Seharusnya pemerintah maupun masyarakat mampu menjadi wajah Pancasila sebagai contoh generasi bangsa. 

Mengapa negara kita krisis keteladanan? 

    Karena kita tidak terbiasa jujur, integritas, rela bersikap adil, menjunjung kemanusiaan dan menghargai nilai - nilai universal dalam kehidupan sekeliling kita. Jika mau melihat, negara yang mayoritas masyarakat beriman, hanya mampu menempatkan agama sebagai ritual ibadah. Tapi belum menjiwai nilai-nilai dasarnya untuk mengaplikasikan dalam kehidupan kita.

 Di samping itu pendidikan kita sekarang sering tidak mengajarkan bagaimana berpikir kritis, bagaimana sederhana, berbagi, berkarakter. Bukan fokus mendapatkan nilai budi pekerti yang tertinggi, tidak. Tapi jika kita mau mengakui, yang kita unggulkan justru materialisme. Orang beragama tapi juga korupsi. Agama hanya rutinitas, bukan sebagai mata batin perilaku. Sebenarnya persoalan kita adalah pembatinan nilai ini. Apabila Pancasila pun tidak dibatinkan dalam diri, maka ia hanya menjadi doktrin, keformalitas, tidak mengaplikasikan dalam kehidupan dan kebijakan.

Kebijakan publik kita tidak mengacu pada Pancasila. Maka tak heran saat wabah menguji,  masyarakat gagap menanggapi pandemi. Gagap dengan kebiasaan – kebiasaan yang harus dijalankan seperti cuci tangan, mengendalikan diri untuk jaga jarak, toleran dan disiplin memakai masker. Yang pada dasarnya kebiasaan itu adalah wujud kebiasaan bersih dan konsekuen seperti yang di ajarkan dalam agama. Iman yang kuat adalah dasar untuk mencerdaskan bangsa. Pendidikan akan mencerdaskan  jika memiliki keimanan yang otentik sehingga orang  tersebut dapat mengaktualisasi dirinya yang berguna bagi bangsa dan negara. 

Ketika pemerintah telah bersungguh sungguh menangani masalah pandemi ini, sebagaian orang menganggap ini konspirasi, terutama kaum politik. Bagaimana kita bisa meredakan gejolak pandemi jika kita terus berpikir diluar hal yang seharusnya ada, hal yang harusnya lebih kita fokuskan. Yaitu menjaga kestabilan diri agar ujian pandemi ini segera mendapat solusi. Daripada mempercayai konspirasi, lebih baik koreksi dengan memotivasi lebih baik dengan kesadaran tinggi. Saatnya kembali menginternalisasi kembali Pancasila dalam kehidupan kita. Selamat hari Kesaktian Pancasila. Sekali lagi "Kita  Indonesia, Kita Pancasila.