PILIHAN
Bulan ini premitku habis, aku bersiap-siap untuk pulang
ke kampung halaman, banyak yang kurindukan. Mamak, Bapak, adik, dan simbahku. Diam – diam hatiku berdebar, saat mengingati
seseorang. Jujur ada bisikan halus yang selalu terdengar di telingaku, seperti
nyanyian malam yang gelisah dalam senyap. Seseorang dibalik rindu. Ya saatnya
telah tiba....” Lelaki mu akan pulang bungaku”.
Namanya Pras, Sekar Prastiwi. Berkulit sawo matang,
rambutnya hitam panjang, sering di kepang dua. Matanya bulat jawa dan di dagu
kanannya ada tahi lalat yang membuat senyumnya terasa manis, sedap dipandang.
Dari kecil aku dan Pras menghabiskan waktu bermain bersama, dan dari
dulu hatiku memang tidak bisa berpindah. Hanya Pras, gadis sederhana terpilih dan kupilih.
Saat kecil, aku dan Pras sering menghabiskan waktu bersama Basyir, Ratno, Minggar, Hayati di Jurang Gatuk. Salah satu tempat yang sangat indah di Lemah Putih tanah kelahiranku . Mungkin orang menganggap itu tempat angker, tapi tidak bagi kami, penduduk asli. Tempat ini adalah markas dolanan istimewa. Jurang Gathuk sebenarnya adalah sebuah jurang yang berada di antara dua bukit yang berdempetan, istilah jawanya gatuk atau mepet ( berdekatan dan menempel). Itulah kenapa dinamakan jurang gatuk, jurang yang berada di antara penyatuan dua bukit. Konon dua orang yang sedang memadu kasih, jika bertandang kesana, akan terus gatuk, atau menyatu selamanya. Ya...itulah yang selalu ku impikan juga , bisa terus gatuk dengan Prastiwi selamanya.
Kadang di tengah
perjalanan pulang dari Jurang gatuk, kita bertemu dengan Joni sekawan, anak carik
yang sering mengusili kamu, Pras. Badannya besar dan kuat. Karena walaupun masih SMP dia sudah ikut salah satu pencak silat. Namun
aku tak takut Pras.
Aku berani melawannya jika dia mengganggumu. Walaupun badanku
kecil tapi aku gesit. Mbah Kong selalu mengajarkanku untuk selalu
lincah, bekerja cepat dan banyak
mengangkat beban. Sehingga nggak kalah ototku dengannya.
Sebenarnya Aku tahu kalau Joni suka Prastiwi, kata Joni, Prastiwi itu manis . “ Kamu memang manis Pras, sangat manis. Kulit sawo matang dengan mata bulat jawa,
dan tahi lalat di dagumu sebelah kanan, membuat senyummu terasa lebih manis
lagi. Mungkin itu yang selalu membuatku
kesemsem sama kamu.”
Tapi lama – lama keisengan Joni membuatku marah, kadang dia mencubit pipimu karena gemas, atau menarik - narik kain bajumu. Aku tidak
suka. Entah dari dulu aku memang tidak suka bila ada yang mengganggumu. Aku akan menghadang siapapun itu.
Pernah aku berkelahi dengan Joni, sampai di dilerai Pak Sawung,
saat Pak Sawung mencangkul sawah dekat sungai Jurang Gatuk, gara gara Joni
menggandeng tanganmu dan kamu tidak mau. Gegara itu pula aku dimarahi Mbah Kong,
mengapa harus berkelahi jika masih bisa diselesaikan dengan saling bicara. Tuturnya, aku hanya menunduk. Ku tidak berani menatap mata Mbah Kong. Karena beliau adalah sosok yang ku segani dan
ku hormati.
Setelah menamatkan sekolah menengah di SMPN Pace I, aku
melanjutkan ke STM Nganjuk, di sinilah aku mengambil jurusan bangunan, belajar
bagaimana pertukangan dan membuat pola bangunan. Selepas STM, aku mengikuti
program dari sekolah, ada PT yang menawarkan bekerja ke luar negeri, yaitu
Malaysia. Awalnya aku tidak minat, tapi karena butuh pekerjaan apalagi Mamak dan
Bapak perlu
bantuan untuk sekolah adik adikku, akhirnya aku turut menjadi TKI ke Malaysia.
Saat
itu hal yang paling berat adalah
berpamitan dengan Pras. Terlihat wajah sedihnya. Sulit berpisah dengan jarak sejauh ini.
“ Pras, kamu tahu perasaanku padamu kan, Aku tidak bisa
menjanjikanmu apa apa dulu, Aku harus bekerja. Aku mau berangkat ke Malaysia. Jaga
diri baik - baik
ya, tunggu Mas!”.
Kamu
hanya diam, semburat wajahmu
tidak bisa tertutupi dengan senyum manismu. Iya Pras, Aku tahu kamu sangat sedih. . Ekspresi
wajahmu itu, tidak bisa aku lupakan bahkan sampai sekarang.
Kini, sepuluh tahun terlewat. Susah payah aku bertahan menghadapi ribuan
ujian dalam penantian perjumpaan. Saatnya aku menemukan cintaku kembali. Aku
tidak sabar, secepatnya ingin bertemu Prastiwi
.
Sampailah aku kini di tempat yang selama ini kukangeni. Kuketuk pintu rumah, yang masih lekat dalam nyata dan mimpiku. Dulu
temboknya masih berupa batu bata, sekarang sudah tertata dengan keramik krem yang
apik. Bau cat yang masih segar, sepertinya habis direnovasi. Aku yakin ini masih rumahmu.
Lama
tidak ada yang muncul, hatiku resah. Kuketuk
kembali. Hitungan ketiga tiba - tiba
pintu terbuka. Seorang gadis
dengan tahi lalat di dagu sebelah kanan membuka pintu, manis. Dia membelalakkan mata,
“ Mas Hartanto??! “ serunya, seperti tidak percaya.
“ Pras...!” Aku pun tidak dapat menahan perasaan, hatiku
berdebar debar. Kami lama berpandangan. Seperti panasnya gurun sahara yang di
tetesi air, clesss....sejuk. Lama kami terdiam, hanya berpandangan, kaget, bahagia dan haru semua bercampur jadi satu.
"Bolehkah aku
masuk barang sekejap, Pras?"tanyaku memecah sunyi.
“Tentu, tentu Mas. Ayo masuk...wah sampai lupa !” dengan wajah merah mungkin menahan malu
atau masih terkejut , dia mempersilahkanku duduk.
Terasa kikuk, karena lama tidak berjumpa, kuurungkan tangan untuk
mengajaknya bersalaman. Langsung
saja aku duduk.
“Kenapa kau kelihatan gugup Pras?Apa kau grogi lama nggak ketemu denganku? “ tanyaku sambil tersenyum, walaupun sebenarnya tanganku pun panas dingin menahan debaran hati. Dia langsung menahan tawa, tampak pipinya yang kemerah –merahan menahan malu.
“Iyolah Mas kaget, lama gak ada beritanya, tiba tiba muncul di depan mata, angin apa yang membawa Sampean ke sini?”
Jawab Pras dengan masih menunduk malu.
“ Yo angin ribut di hatiku tho Pras, yang membawaku ke sini. Kamu gak dengar apa ributnya di
sini? “ candaku sambil tanganku menunjuk ke dadaku .
Prastiwi tertawa. Tak ada yang berubah dengannya, hanya
kudung ungu segitiga yang kini menutupi
kepalanya, sedikit membuat wajahnya agak berbeda, kerudung ungu yang diselipkan
di antara dua telinganya, kepangan rambutnya yang panjang terlihat samar di belakang
punggungnya. . Sederhana tapi manis, masih seperti Prastiwiku yang dulu.
"Kenapa
nggak ngasih kabar dulu sebelumnya,
Mas?" Tanya Pras.
“
Kejutan untuk hatimu Pras !’ Sergahku menggodanya.
“
Begitu ...ya Mas.”
Dia mengiyakan.
Tiba tiba Pras diam, Aku tahu nada bicaranya sedikit
kecewa, mungkin terlalu lama aku tidak menemuinya. Ada rasa sesal menyeruak
dalam hati. Tidak menemuinya selama ini. Tapi memang keadaan tidak bersahabat,
hingga baru kali ini, aku bisa menjumpainya.
Suara angin kembali memenuhi ruang tamu 4 x 6 meter ini, namun tak mampu mengalahkan kebisingan hatiku. Rasanya bising, tak sabar ingin ku tumpahkan.
"Pras, aku kangen
kamu ", Tiba tiba kalimat itu spontan keluar dari mulutku. Aku
sudah tidak bisa menahan rasa ini, perasaan sesak ingin berjumpa dan mengutarakannya secara langsung di depannya.
Prastiwi langsung terdiam. Semakin menunduk, kembali
wajahnya semakin merona. Semakin membuatku tak bisa berkutik.
“ Dari dulu Pras, sejak kita tumbuh bersama, menghabiskan
masa kecil dengan gemericik air Jurang Gatuk, sejak itu pula tumbuh rasa cinta
itu. Perasaan ini tulus ku simpan dalam hati sampai sekarang, dan hari ini Pras,
aku datang menemuimu untuk melamarmu, Kau mau kan?” Entah keberanian darimana
hingga aku bisa mengatakan ini di hadapannya secara langsung tanpa jeda.
Pras kian menunduk,
reaksi yang berbeda kali ini membuat hatiku tiba tiba gelisah. Dulu saat kukatakan
kepadanya tentang perasaanku , Pernah ia menanggapi dengan tawa lepas dan
bibirnya berucap, "Mas bercanda, ya?"
Tapi
kenapa kali ini dia hanya diam.
Tiba tiba sejuta kecemasan memelukku.
“
Kamu sudah tidak mengharapkan aku lagi? Tanyaku dengan kebingungan.
“
Apa ada yang lain di hatimu Pras, selama aku di Malaysia?! Jawab, Pras??! Tanyaku semakin mengiba. Hening, hanya ada suara jarum
jam dinding. Membuat waktu terasa melambat.
“ Bulan besar mendatang aku menikah Mas, dengan calon pilihan Bapakku.! “ Pras menjawab dengan lirih. Serasa puluhan hantaman mengenai wajahku.
“ Tenan Pras?” Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar.
“ Kamu mengkhianatiku?” Aku
menelan ludah, pahit.
“Geh sepuntene Mas...aku salah. Tapi kenapa
Mas Hartanto baru datang sekarang, kemana selama
ini..?” Tanya Pras dengan mata sendu.
Seakan mempertanyakan perasaanku selama ini. Lemas rasanya,
mendengar apa yang Pras tanyakan.
“ Salahku apa Pras. Sampai kau meninggalkanku dan mau
menikah dengan orang lain?”
Pras ku berondong dengan pertanyaan.
“Aku perempuan Mas, mana bisa kau tinggal tanpa kabar,
hanya menunggu, sementara
kepastian dari sampean tidak
ada. Mas mestinya ngerti, bagaimana pandangan wong ndeso jika umur hampir 30 tahun belum nikah, isin Mas....kewirangan wong tuwaku!”. Mata Prastiwi memerah, bulir airmatanya mulai tumpah.
“Kalau Mas
Har benar serius, mestinya dari dulu - dulu melamar, atau setidaknya membuat
ikatan. Berkali kali aku dilamar orang, namun
selalu ku tolak dengan alasan tidak cocok, malu aku menolak lagi. Perih
sebenarnya menunggu Mas Har sampai sekian tahun. Dan sekarang saat hari pernikahan semakin
dekat, Mas baru muncul mencariku. Lalu aku harus bagaimana?! Setidaknya sampean dulu matur ke orang tuaku untuk
memberi kepastian,” Tangis Prastiwi pecah.
Tak terasa memerah mataku, melihat Prastiwi ternyata seperti
ini. Pedih.
“ Dua bulan yang lalu Bapak menjodohkan aku dengan putranya
Pak Carik, aku bingung Mas, dikejar usia dan rasa bersalah pada orang tua.”.
“
Lantas, kamu terima Pras?! Tanyaku,
darahku mulai memanas. Pras hanya menangis terdiam.
“Ow, jadi kamu lebih memilih Joni anak Pak Carik iku sing
anak e perangkat, daripada aku anak e wong mlarat..”??!!!Suaraku mulai
meninggi.
“
Tegooo...
kamu,,Pras”!!! Kulempar pandanganku keluar. Betapa terpukul ,
rasanya perih menusuk nusuk.
“
Mas sampean sing tega, membiarkan aku dalam ketidak pastian. Sampean gak mikir, aku perempuan Mas...?”. Jawab Pras dengan mata yang semakin sendu.
“ Tidak Pras, kamu tidak bisa dengan orang lain, aku
memilihmu...kamu mimpiku, kamu hanya milikku..! Janur kuning belum melengkung,
masih ada kesempatan bagi kita Pras, bukankah kamu juga cinta sama aku? Aku sudah memiliki uang
banyak sekarang, cukup untuk kita membangun rumah tangga?!” Aku seperti
orang kesetanan, aku tidak terima. Aku ingin membawa Pras kabur saja. Kemana
saja asal bersama. Darahku semakin mendidih.
“ Eling mas, eling..!” Pras mencoba mengembalikan akal
sehatku.
“Aku sudah punya ikatan dengannya, Bapakku sudah
menerima, kurang sebulan lagi aku menikah, jangan buat keluargaku geger, jangan
buat aku malu lagi Mas, sudah cukup aku menunggumu, biarkan aku memilih jalanku
sendiri sekarang!” Kata Pras tegas.
“ Kau tidak ingat janji kita Pras, di Jurang Gatuk, bahwa
kita akan selalu bersama, gatuk selawase.. kelingono iku Pras, jangan bohongi
hatimu, Kamu masih mencintaiku!” kembali aku meyakinkannya.
Mendengar itu Prastiwi menangis tergugu,
“Sepuntene Mas...bukan aku tidak mencintaimu, atau
berniat mengingkari janji
kita,
tapi sekarang kondisinya sudah berubah. Mas tidak pernah ada kabar...dan ini
mungkin sudah takdirku, wes mas, lupakan
semuanya...itu hanya
masa lalu.” Rintih Prastiwi.
“
Tidak Pras, kamu masa laluku dan masa depanku,
sampai kapanpun tidak berubah..” Kembali
aku bersikeras.
“
Maaf mas, aku tidak bisa...harap Sampean mengerti”.Prastiwi memelas.
Kata
kata terakhirnya membuatku lunglai. Aku
mati rasa. Bahkan mungkin jika Pras menusukku dengan belati sampai berdarah, aku tidak merasainya lagi. Terhuyung
huyung kutinggalkan rumahnya tanpa
menoleh, tanpa pamitan. Dan dia masih di sana, duduk
tergugu mengusap kepiluannya.
Entahlah, jangan bilang aku tidak
berusaha. Sudah, sampai letih jiwa
ragaku. Kupikir berakhir bersama. Nyatanya
... tidak. Bahkan aku meringkuk
dalam kekalahan, telak.
Aku mengaku salah, harusnya dari awal aku membuat kepastian,
sebagai laki laki harusnya memberikan komitmen, hingga Prastiwi tidak perlu menunggui lama. Tak pernah terpikir olehku,
bahwa Prastiwi sebegitu menderita seperti ini, aku paham pandangan masyarakat bagaimana jika gadis berumur hampir
30 tahun belum menikah, dan yang dia lakukan selama ini hanya menungguku, sementara aku...tidak
secuil pun memberinya kabar, hanya sebatas kepercayaan. Padahal cinta tidak cukup mengandalkan percaya
saja, Nyatanya butuh tindakan realita.
Tidak sekedar berujud ucapan tapi juga keseriusan dalam ikatan.
Iya,
aku terlambat. Sesal selalu di akhir, kenapa dari dulu aku tidak berpikir
sejauh ini. Seseorang yang kucintai
dan mencintaiku, akhirnya harus kurelakan untuk orang lain. Sulit bagi ku untuk
menerima, tetapi apakah aku akan
begitu tega lagi, terus merindui Prastiwi yang sekarang akan memiliki
kebahagiaan sendiri. “ Tidak Pras.....sudah cukup aku menyakitimu dengan caraku,
sudah cukup. Prastiwiku berhak
bahagia. Beruntunglah Joni, ia
hadir dalam kekosongan mu yang tak kunjung aku beri kepastian.
Bukan keputusan mudah, tapi mungkin ini yang terbaik. Yang pasti aku ingin
melihatnya tersenyum bahagia. Aku harus belajar ikhlas, dan
belajar menerima hidup tanpa keangkuhan. Mencintai bagiku
meleburkan ego, hingga tidak ada lagi aku dalam diri. Itulah mengapa aku tidak
mudah jatuh hati. Prastiwi adalah
definisi dari bahagia, cinta, dan juga dunia. Prastiwi adalah segalaku. Demi kebahagiaannya, Aku rela mengikhlaskannya.
Kini Sekar Prastiwiku akan memulai hidup baru, mahligai pernikahan penuh cinta kasih dan itu bukan denganku. Entah harus bagaimana
kubunuh rindu yang tak kunjung lenyap. Rindu
yang selama ini telah jadi candu. Meski tidak bisa memilikinya,
biarlah kenangan ini tetap milikku.
Kau tetaplah sekarku Pras. Bunga yang mekar, mewangi bersama gemericik sungai Jurang Gatuk.