PEREMPUAN DALAM BELENGGU RADIKALISME

PEREMPUAN DALAM BELENGGU RADIKALISME

 

Perempuan memang mendapat kemuliaan tersendiri karena sebagai madrasatul ula, tempat awal pendidikan generasi bangsa. Dibalik lemah lembut kemuliaan wanita, tepatnya, tanggal 11 Desember 2016. Dunia tersentak ketika seorang perempuan bernama Dian Yulia Novi tertangkap ketika hendak melakukan aksi bom bunuh diri di Indonesia. Dia pernah jadi buruh migran di Singapura dan ternyata juga isteri Bahrun Naim, pelaku bom Sarinah. Dia akan meledakkan Istana Negara dengan bom rice cooker, lalu tertangkap polisi. Kemudian  disusul dengan   Puji Kuswati  dalam tragedi bom Surabaya yang terjadi pada pertengahan Mei 2018.  Muslimah ini  yang mengajak buah hatinya untuk melakukukan bom bunuh diri saat di gereja tepat saat umat Kristen beribadah di sana.  Tragedi ini menyingkap  fakta keterlibatan sejumlah perempuan Muslim dalam gerakan terorisme di Indonesia.

Sepertinya trend baru dalam aksi terorisme menjadikan perempuan sebagai pelaku. Kalau sebelumnya aksi-aksi teror dilakukan oleh pria, belakangan aksi-aksi teror memanfaatkan perempuan sebagai pelakunya. Meskipun faktanya perempuan adalah pelaku, hakikinya mereka adalah korban. Korban dari kondisi ketidaktahuan mereka lalu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki rencana yang matang untuk aksi radikalisme yang berujung pada terorisme.

Apa sebenarnya yang terjadi? Sehingga banyak orang yang membicarakan radikalisme?

Radikalisme adalah paham yang ingin melakukan perubahan sesuai tujuan dengam cara-cara kekerasan. Sedangkan terorisme adalah serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan teror dan rasa ketakutan kepada masyarakat. Radikalisme dan terorisme mengancam keamanan dan ketertiban di negeri ini. Sehingga banyak teror perpecahan bahkan  bom-bom pembunuhan yang membuat nyawa puluhan orang tak berdosa melayang.

Gerakan terorisme yang dilakukan oleh para pelakunya selalu menggunakan agama sebagai payung aksinya. Padahal Mati karena bom bunuh diri bukanlah mati syahid tapi mati konyol yang sama sekali tidak afdol.

 

 

Allah Ta'ala berfirman

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

 

Artinya:

Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya (QS Al-maidah 32)

Ayat di atas sangat jelas menerangkan bahwa meneror atau tindakan terorisme dilarang Islam.

Hadirin yang dimulyakan Allah,

Satu hal yang membuat kita jadi penasaran, Mengapa para perempuan yang notabenenya muslimat terlibat dalam aksi terorisme? Ada beberapa hal yang menjadi  penyebab mengapa perempuan terlibat terorisme. Di antaranya, faktor pergaulan dan pertemanan, perasaan terpinggirkan, perasaan frustrasi dan dendam, namun faktor ideologi radikal menjadi kata kunci ketika mereka sudah berada dalam kelompok teroris.

Sejumlah penelitian mengungkapkan, para perempuan yang direkrut dalam jaringan tersebut didoktrin setiap saat dengan pandangan keislaman yang radikal. Mereka dijejali dengan narasi-narasi Islam tertindas, tentang romantisme kejayaan Islam masa khilafah. Tentang wajibnya mendirikan negara khilafah yang akan membebaskan mereka dari ketidakadilan dan kemiskinan. Mereka juga didoktrin dengan kisah-kisah figur perempuan pemberani dalam sejarah Islam. Wajibnya menegakkan syariat Islam dan pentingnya menghapus demokrasi dan negara Pancasila yang mereka juluki sebagai thagut (musuh Islam).

Mengapa perempuan?

Perempuan adalah kelompok yang paling diandalkan dalam soal kesetiaan dan kepatuhan. Kelompok yang paling mudah percaya pada semua hal terkait agama. Perempuan sangat bersahabat dengan agama meski agama seringkali tidak ramah terhadap mereka. Dan yang paling meyakinkan adalah perempuan mampu menjadi benteng pertama yang melindungi keluarga jika terjadi hal-hal tak diinginkan.

Perempuan seperti apa yang banyak terlibat dalam gerakan terorisme di Indonesia? Penelitian Yayasan Prasasti Perdamaian mengungkapkan, para perempuan yang terlibat dalam gerakan radikalisme Islam Indonesia terdiri dari para istri dan keluarga teroris yang terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia, isteri dan keluarga para jihadis di Suriah, Lebanon dan Turki. Umumnya suami atau keluarga mereka adalah anggota Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid, Negara Islam Indonesia, ISIS, Salafi Jihadis dan organisasi Islam radikal lain.

Menarik disebutkan, umumnya mereka bukanlah perempuan yang tidak pintar dan tidak terdidik. Sebaliknya, kebanyakan mereka lulusan perguruan tinggi, selebihnya lulusan pesantren dan sekolah menengah atas. Lalu dari segi ekonomi, mereka tidak selalu dari kelompok miskin. Umumnya mereka dari kalangan menengah. Profesi mereka pun beragam: dosen, guru, muballighah, ustazah, dokter gigi, pengusaha, karyawan, aktivis organisasi,  pedagang (kebab, herbal, busana dan sebagainya), pelayan toko, dan pekerja pabrik.

Mereka mulanya terpapar pemahaman keislaman yang radikal, misalnya memercayai wajib hukumnya membunuh orang-orang kafir, (non-Muslim). Mereka meyakini wajib menegakkan negara Islam dengan melakukan jihad menumpas ketidakadilan yang dilakukan orang-orang kafir. Perempuan harus ikut berjihad membela Islam dan Muslim yang tertindas.

Sebagian mereka direkrut melalui pernikahan, suami sendiri yang melakukan upaya terencana menanamkan ideologi radikal dengan “cuci otak”.  Artinya, mereka sengaja dinikahi untuk selanjutnya diajarkan ideologi radikal. Pernikahan mereka sebagian berlangsung secara normal, namun tidak sedikit menikah dalam penjara. Sebagian lagi dinikahi belakangan setelah mereka menerima doktrin radikal tersebut. Tidak sedikit dari mereka mendapatkan pengaruh doktrin dari teman dekat suami atau dari sesama perempuan yang telah terlebih dahulu aktif dalam jaringan tersebut.

Menarik diketahui bahwa kebanyakan perempuan yang direkrut dalam gerakan terorisme adalah buruh migran. Mengapa? Karena umumnya mereka punya uang, mandiri, dan berani serta yang paling penting mereka sudah biasa ke luar negeri. Mereka pun pengguna aktif internet dan media sosial. Sebagian mereka terpapar ideologi radikalisme lewat internet ketika bekerja di luar negeri. Pertemuan mereka dengan suami dan kelompoknya umumnya lewat sosial media.

Tugas dan peran perempuan dalam gerakan radikalisme cukup beragam. Di antaranya, mereka berperan sebagai pendidik dan pelatih, agen perubahan, pendakwah ulung, pencari dan pengumpul dana. Tidak sedikit dari mereka ditugasi untuk merekrut perempuan-perempuan muda dan potensial dari berbagai kalangan. Sebagian lagi berperan sebagai pengatur logistik, kurir antar kota, bahkan antar negara membawa pesan-pesan rahasia. Sebagian lagi berperan sebagai pengantin untuk bom bunuh diri.

Keterlibatan perempuan dalam gerakan radikalisme menjadikan perempuan sebagai pelaku aksi-aksi teroris sekaligus juga sebagai korban. Mereka adalah korban ideologi suami atau keluarga, korban indoktrinasi agama, korban stigmatisasi dari masyarakat, korban media, dan juga korban dari ekses konflik. Perempuan lagi-lagi hanyalah korban dari kondisi yang diciptakan oleh kekuasaan..

Oleh karena itu, upaya untuk mengatasinya harus dengan sentuhan-sentuhan kemanusiaan dan memberi tempat kepada mereka dalam pergaulan sosial arus-utama. Kampanye yang terus-menerus memojokkan mereka tanpa mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan hanya akan membuat mereka mati suri. Di balik itu, mereka tetap beroperasi di bawah tanah untuk menata ulang sel-sel rahasia mereka yang suatu saat mengobarkan kembali api dan semangat jihad yang seringkali berujung dengan ledakan terorisme.

Perempuan bisa menjadi agen perubahan. Kalau mereka bisa direkrut menjadi teroris seharusnya lebih mudah mengajak mereka menjadi agen perdamaian. Diperlukan strategi dan pendekatan yang lembut dan manusiawi, namun mengena kepada mereka yang terlibat gerakan terorisme. Pendekatan yang semata bertumpu pada kekuatan militeristik dengan prinsip keamanaan harus ditinjau ulang.

Tidak diragukan lagi betapa pentingnya peran ibu dalam mendidik anaknya. Menjauhkan dari radikalisme. Mengenai hal ini ada seorang penyair ternama Hafiz Ibrahim mengungkapkan sebagai berikut: “Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”.

Artinya: Ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.

Jelaslah dari syair tersebut bahwa ibu adalah madrasah pertama yang nantinya akan memberikan keteladanan bagi sikap, perilaku dan keprbadian anak. Sehingga bisa membentengi anak dari sejak dini. Bukan tidak mungkin akan melahirkan anak-anak yang sholih-sholihah yang kelak menjadi tunas berdirinya masyarakat yang berbakti kepada kedua orang tua, berkualitas, berbudi pekerti luhur dan Islami.Islam seharusnya menjadi rahmat bagi semua makhluk di alam semesta.