BANGKIT DARI TITIK TERENDAH
AUTOBIOGRAFI
Bapak
memberiku nama Sofia Ulfa. Kata Ibu, Sofia artinya kebijaksanaan dan Ulfa
adalah kelembutan. Sedangkan Zef adalah nama pena yang di ambil dari simbol nama suamiku. Harapan orang tua, aku bisa menjadi anak yang lembut dan bijak. Aku
dilahirkan di desa terpencil di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Saudaraku empat
orang, aku paling kecil. Kami lima bersaudara. Kakak tertuaku seorang laki –
laki dengan empat perempuan adik – adiknya.
Ibuku seorang wanita rumah tangga. Bapakku mengabdi di KUA dan kami dari
keluarga yang sederhana.
Kebiasaan
Bapak ibuku adalah bercengkrama saat sore hari, selepas Bapak pulang kerja.
Seperti hari itu, seperti biasa Bapak minta Ibu membuatkan kulupan atau urap sayur, di sela
obrolannya Bapak mengungkapkan mimpinya, Ia ingin kelima anaknya melanjutkan
sekolah hingga perguruan tinggi. Mengingat ketidak berhasilannya untuk lulus
kuliah. Iya, Bapakku pernah melanjutkan sekolah selepas menikah. Namun karena
ketiadaan biaya, Bapak berhenti kuliah menjelang ujian. Kelima anaknya
menjadi fokus utama. Ia berharap anak -anaknya bisa meneruskan mimpinya.
Sekolah tinggi dan mampu mengabdikan diri pada masyarakat.
Beberapa
hari setelah cengkrama itu Bapak meninggal karena serangan jantung. Ibu yang
waktu itu usia 36 tahun harus sendiri
merawat kelima anak yang notabenenya masih kecil - kecil. Saat itu aku masih
berusia 3 tahun, dan kakak tertua baru lulus SMA. Sempat ibu dilamar orang.
Namun Ibu berpikir bagaimana nasib anak – anakku nanti. Ibu ingin merawat sendiri
kelima anaknya dan meneruskan mimpi – mimpi Bapak.
Saya
lupa bagaimana ibu melewati hari- harinya sepeninggal Bapak. Mungkin aku masih
terlalu kecil untuk mengingat. Bayangan wajah Bapak pun samar - samar hilang dan
pergi dari pikiranku. Aku hanya mampu menerjemahkan wajahnya saat melihat foto
yang tertempel di dinding rumah. Yang
jelas sejak saat itu Ibuku memang selalu sibuk. Kadang di sawah kadang
berdagang. Kadang mengajakku saat mengerjakan aktifitasnya, kadang juga aku
dititipkan ke nenek yang tidak jauh dari rumahku.
Di sela
-sela kesibukannya ibu masih mengajari anak - anak desa mengaji Al qur’an selepas Maghrib. Memang saat itu desaku masih
awam dengan huruf hijaiyyah. Sehingga anak -anak perempuan di desa selalu ramai
mengunjungi rumahku untuk mengaji. Aku ingat ibuku mengajari anak -anak gadis
itu sambil duduk memangkuku. Kadang Aku juga bermain dengan anak – anak lain
sambil menikmati indahnya bulan bakda mengaji bersama.
Kesibukan
ibuku memang membuat aku jauh secara emosi. Aku jarang ngobrol. Hingga aku
menjadi introvet. Lebih sering menyendiri, entah karena sifatku atau memang
lingkungan yang menpengaruhiku. Tapi kusadari itu bukan keinginannya tapi
karena tuntutan bagaimana memenuhi kebutuhan ekonomi untuk menyekolahkan anak –
anaknya hingga jenjang yang lebih tinggi. Beruntung Tuhan mengalihkan duniaku
dengan hal – hal yang membahagiakan di masa kecil.
Dari
kecil aku suka membaca. Sebenarnya dari kelas 1 SD, aku belum begitu lancar
membaca. Suatu hari Kakak tertuaku membawakan buku cerita berjudul "
Mengatur Taman". Karena penasaran dengan ceritanya, aku membacanya nyaring
setiap hari walaupun tertatih - tatih. Senang sekali bisa mengetahui ceritanya.
Dari situ mulailah hobi membaca. Buku apapun saya baca.
Saat aku
kelas 2 SD, suatu hari Ibu Guru memberikan pertanyaan kepada siswa. Aku ingat
pertanyaannya" Berikan contoh hewan yang hidup di dua alam"
aku menjawab katak. Saat itu Bu guru heran bagaimana aku bisa menjawab, karena
di buku materi tidak ada demikian. Sang Guru memujiku di depan kelas. Aku diam, aku tidak memberi tahu, bahwa di rumah
aku sering membaca buku IPA SMA milik kakakku, yang tidak sengaja diletakkan di
meja belajar. Pengalaman ini membuatku
semakin suka membaca.
Saat melihat televisi, aku menemukan bahwa
menjadi wartawan itu sangat keren. Kemudian aku mengatakan kepada ibuku bahwa
jika aku besar, aku ingin menjadi wartawan. Ibuku hanya tersenyum. Lalu aku
bertanya pada kakakku. Apa saja tugas wartawan. Kakakku menjelaskan beberapa
hal. Termasuk membuat berita dan majalah. Aku jadi ingin membuat majalah,
apalagi ketika kutemukan majalah Bobo bekas, aku jadi tertarik membuat majalah
sendiri.
Ku ingat
saat itu aku kelas 4 SD, Suatu hari aku mengumpulkan buku dongeng. Ku tulis
ulang sama persis dengan yang ada di buku, ku gambari dan kuwarnai. Ku cari
TTS, ku contek formatnya. Ku salin juga cerita- cerita lucu dari majalah bekas.
Semua karya itu kutulis di kertas putih yang kusobek dari sisa buku tulis kelas
1. Ku gambari kartun di kertas paling depan layaknya cover dan jadilah majalah.
Saat itu aku belum paham tentang plagiat, yang terpenting menulis cerita
walaupun nyontek dari buku. Aku menunjukkan pada temanku, majalah dan coretan
hasil tulisanku satu minggu. Ternyata teman temanku menyukainya. Mereka
antusias membaca, dan memintaku membuatnya lagi. Aku senang sekali.
Saat
MTs, aku mulai menulis diary, teman temanku sering membacanya juga. Mereka suka
antri dan menantikan tulisanku berikutnya. Namun aku tidak konsisten, setelah
mengenal pramuka dan OSIS. Aku mulai teralihkan dengan organisasi hingga
tingkat MA ( SMA). Sejak itu aku tidak menulis lagi. Sempat juga saat Aliyah
aku menjadi salah satu penggagas mading di sekolahanku. Saat itu pembinanya
sangat peduli. Namun karena banyak faktor akhirnya madingnya hanya terbit tiga
kali.
Yang
selalu aku ingat, sejak dulu aku suka zodiak dengan segala pernak - perniknya. Aku
juga suka dengan hitungan jawa, atau biasa disebut dengan weton. Namun
aku tidak segitu percayanya dengan ramalannya, kata ibuku kita sebagai umat
beragama dilarang mempercayai ramalan. Aku hanya suka menganalisa karakter - karakter
pembawaan dari 12 zodiak tersebut. Menurut dari apa yang ku amati, kebiasaan dan
karakter zodiaknya mirip dengan kenyataan. Bisa jadi karakter dalam zodiak dipelajari
dari kebiasaan orang – orang terdahulu. Tapi kalau tentang ramalan asmaranya aku tidak percaya. Jadinya dulu ketika berkenalan dengan teman
baru, selalu kutanya apa zodiaknya..konyol sih. Tapi dari situ aku bisa
mengenali karakternya walaupun tidak selalu benar. Sampai teman - temanku
kadang capek mendengarkan opiniku tentang pengamatanku.
Kebiasaan
menganalisa karakter dari zodiak, terbawa sampai dewasa. Aku jadi sering
mengamati perilaku seseorang walaupun hanya diam, tidak ku ungkapkan. Aku jadi
suka mengamati emosi manusia. Herannya, kenapa aku tidak mengambil jurusan
psikologi saja ya saat kuliah. Kenapa malah ambil jurusan keguruan PGMI dan transfer jurusan Bahasa
Arab. Waktu itu jurusan psikologi memang
hanya ada di Perguruan Tinggi Negeri di kota. Seperti Malang dan Surabaya,
tentu mahal biaya hidup di sana.
Sementara secara ekonomi, aku tahu keadaan ibuku. Akhirnya aku memilih
kuliah di kota terdekat, di mana aku tetap bisa kuliah dan tidak memberatkan
keluarga.
Setelah lulus
kuliah saya mengajar di MI setingkat SD, suatu hari saya ditawari untuk menjadi
operator radio komunitas di salah satu sekolahan di Nganjuk. Awalnya aku tidak menerima,
karena sudah mengajar di MI. Tapi ketika diijinkan bisa juga sambil mengajar,
aku menerimanya. Sejak itu aku menjadi operator radio sekolah. Menyiapkan musik
dan mengatur kontennya dari pagi sampai siang hari di sela – sela mengajar.
Awalnya bingung juga, tapi kakak saya selalu menyuport untuk belajar apapun.
Hingga suatu hari kepala sekolah meminta saya sekaligus menjadi penyiarnya. Aku
yang tidak punya kemampuan berbicara gagap juga. Tapi karena sudah niat dari
awal, kepalang basah sekalian. Jadinya aku harus belajar bagaimana menjadi
penyiar dan berbagi informasi keislaman, mengingat sekolah ini adalah madrasah.
Setahun
berikutnya, kepala sekolah meminta untuk membimbing anak - anak menulis
majalah. Aku jadi seperti mengingat hobi di masa kecilku. Ku sanggupi, dan
sejak itu aku belajar menulis lagi bersama anak - anak hingga sekarang. Dari
seluruh rangkaian perjalanan hidupku, aku belajar bahwa kesuksesan tidak selalu
instan. Akan ada proses dalam pencapaian pencapaian kecil, dari sekumpulan itu
akan menjadi pencapaian besar. Yang terpenting adalah selalu usaha dan yakini
dengan doa.
Aku
bersyukur, memiliki ibuku yang hebat. Dengan kegigihannya mampu menyekolahkan lima
anaknya sampai perguruan tinggi. Hanya kakakku yang ketiga tidak sampai tamat.
Karena lebih memilih ke pondok pesantren. Tanpa usaha maksimal dan doa – doa
ibu mustahil aku sampai di pencapaian ini. Kadang kita berada di titik terendah
hingga mencoba bertahan dengan terengah - engah. Namun selalu percaya bahwa
Tuhan akan selalu memberi jalan bagaimanapun keadaannya.
Genre : NON FIKSI
#OneDayOnePost
#ODOP
#ODOPCHallenge3
Tema Wajib