MENANTI BERKAT
“Sudah
sarapan, Buk?" Tanyaku pada wanita yang melahirkan dan merawatku dengan
kasih sayang selama ini.
"
Belum..Ibu ndak doyan mangan!" Jawabnya dengan wajah lesu.
“Kenapa
sih, Buk. Semalam tak lihat Ibuk juga nggak bisa tidur?”
"
Sebenarnya aku kepikiran, dengan gawan yang kemarin di antar Retno ke
rumah Bu Nyai. Kamu tahu kan, Bu Nyai itu masih saudara kita. Kemarin aku minta
Retno untuk ngaturne gawan, yang isinya
gula dan minyak di acara haul Mbah Yai sepuh"
"
Terus, kenapa Bu? Mestinya kan Retno sudah mengantarkan gawan itu dengan
benar dan selamat ke ndalemnya Bu Nyai. Buktinya kemarin pulang Retno
pulang nggak bawa apa - apa. Berrati kan sudah disampaikan". Kataku
meyakinkankan Ibuk. Bukan berarti aku membela Retno, anak ragil mbakku yang
masih kelas 3 SMP. Tapi aku tahu Retno anak yang amanah. Pasti dia sudah
menyampaikannya.
"
Nah itu lho masalahnya,Ti. Dari kemarin
pagi sampai malam, tak tunggu kok belum juga ada berkat datang. Biasanya Bu
Nyai selalu memberikan berkat untuk yang bawa gawan di acara haulnya
Mbah Yai sepuh. Selain berkat yang diberikan kepada para undangan". Kata
Ibuk dengan wajah resah.
"
Lha masak memberikan gawan hanya karena mengharap berkat, Buk?"
Tanyaku lagi. " Kalau Ibuk pengen berkat, nanti tak belikan nasi rames di
warungnya Mbak Ambar. Kan isinya berkat hampir sama dengan nasi rames"
Kataku menawarkan pada Ibuk. Kasihan jika ibuk mikir tentang berkat terus.
"
Lha Yo Kuwi,Ti. Aku kok gak dapat berkat. Jangan - jangan gawan itu ndak
sampai ke tangan Bu Nyai langsung. Apa mungkin ketlisut, hingga Bu Nyai gak
pirso." Ibu mulai khawatir.
"
Sudahlah Buk, mungkin Bu Nyai lupa ngasih berkat, yang di urusi banyak".
"
Masak Bu Nyai lupa, ndak biasanya begini. Aku yo isin tho Ti, kalau
dikira kita ndak bawa gawan kesana. Itu kan acara besar, haul Mbah Yai
Sepuh. Nanti dikira sesama saudara ndak ikut rembyuk sanak kadang. Ora
gemati karo dulur."
" Wis
Buk, nggak usah dipikir. Ibuk kan sudah ikhlas memberi, kenapa harus diungkit
gara - gara nggak dikasih berkat, Titi yakin Bu Nyai sudah pirso. Tapi
mungkin berkatnya habis. Kan kemarin tamunya memang banyak, sampai tempat
parkir penuh. Jalan jalan pada ketutup mobil tamu semua.
"
Jajal, tak tanya Bulekmu. Apa ya di beri berkat”
"
Walah Buk, kok nambah nambahi pikiran. Nanti malah capek, kepikiran terus”.
"
Awakmu ora ngerti, ini perkara penting. Nanti dikira kita beneran ndak
bawa gawan, piye kalau di anggap ndak
ngajeni Mbah Yai" Kata Ibuk dengan kelabakan.
" Sek,
tak ke rumah Bulekmu. Nanti kalau ternyata Bulekmu diberi berkat. Berarti Bu
Nyai ndak pirso kalau gawanku sudah di sana. Tapi kalau Bulekmu tidak
diberi berkat, berarti memang mungkin habis berkatnya untuk tamu semua. Kamu di
rumah saja, jangan lupa tutup pintu dapur. Ibuk tadi nggoreng pindang
kesukaanmu. Ojo sampe di ambil kucing." Pesan Ibu sambil membuka pintu
depan menuju rumah Bulek Asih di samping rumah.
Aku hanya
mampu menghela nafas. Heran, kenapa Ibuk sebingung ini. Bukannya kalau memberi gawan
ya sudah, memberi saja. Masalah diberi berkat atau tidak itu kan sebenarnya
bukan masalah utama. Lagian kalau sudah niat ikhlas memberi kenapa harus minta
balasan. Bukankah endingnyz jadi pamrih?
Gambar : sulang. wordpress.com
Bukan
sekali ini kehebohan Ibuk saat memberi, setiap datang ke hajatan nikah tetangga
atau saudara, selalu bingung sendiri.
"
Piye, tho, gawanku ini sudah pantes apa belum. Yu Tingah itu saudara kita Lo,
meskipun turun Pitu. Ti, menurutmu iki pantes pora?”. Selalu bingung menentukan
pemberian, takut dengan penerimaan orang.
"
Nanti Ibuk tolong, kamu tuliskan nama ibuk yang besar di pojok amplop, hurufnya
kudu besar lho ya, jangan kecil - kecil. Nanti tulisannya biar bisa dibaca
tanpa pakai kacamata”. Ah, Ibuk selalu begini. Selalu khawatir jika sang penerima tidak mengetahui tentang gawan
dan amplopnya".
Memang
sering kali amplop hajatan atau pernikahan lebih identik dengan arisan. Jadi
kalau memberi dengan nominal tertentu,
maka saat kita punya hajat kita akan di balas dengan nominal yang sama. Padahal
sistem seperti ini, sama saja kita menghutangi, nanti akan ada masa melunasi
hutang saat kita yang gantian punya hajat. Iya kalau yang kita beri, punya uang
saat itu. Kalau tidak, bukannya jadi kasihan.
Kadang
aku merasa bahwa hal ini kadang menjadi kebiasaan yang tidak kita sadari. Tapi
sudah mentradisi. Entahlah..
Beda dengan
Bapakku, diri jika sedang jagong atau memberi amplop kepada yang
berhajat acara, malah kadang tidak diberi nama. Takut membuat beban sang
penerima. Amplop itu adakah hadiah sebagai rasa ikut bersuka cita atas
kebahagiannya. Memberi ya memberi saja. Dengan mengikhlaskan dibalas maupun
tidak. Tentunya dengan sikap begini membuat
hati lebih lapang. Seandainya ibuku berpikir seperti itu, tentu beliau akan
lebih tenang.
Saat
menutup pintu dapur, samar samar ku dengar ketukan pintu depan.
"
Assalamu' alaikum" Terdengar salam dari seorang wanita.
"
Waalaikum salam, monggo mlebet". Ku sambut tamu separuh baya di
depan pintu rumah..
"
Oh, Mbak Ranti...wonten npo Mbak? Nopo madosi Ibuk? Ibuk e
taksih dateng Bulek"
"
Niki mbak Titi, di utus Bu Nyai ngaturaken dhaharan. Bu Nyai minta maaf,
baru sekarang bisa mengantarkan berkat. Kemarin tamunya ramai sekali. Semua
berkat habis. Jadi ya pagi ini para santri dan tetangga dekat rewang kembali,
untuk membuat berkat dan dibagikan ke tetangga
yang kemarin belum dapat. Salam saking Bu Nyai..terima kasih atas hantarannya
yang diberikan Dek Retno kemarin"
"
Oh, inggeh Mbak Ranti, sami sami. Ugi ngaturaken salam dateng
Bu Nyai. Terima kasih banyak.”
"
Inggeh Mbak Titi, pamit dulu. Assalamu'alaikum"
Baru
tiga langkah dari pintu, terlihat Ibuk tergopoh- gopoh masuk halaman rumah. Mbak
Ranti menyalami dan menyampaikan salam Bu Nyai. Terlihat Ibuk yang tersenyum
dengan wajah setengah bingung. Ah, Ibuk.
#OneDayOnePost
#ODOP
#Hari ketiga
Tema Bebas