MENGABADIKAN MOMENTUM DENGAN OPITUM

MENGABADIKAN MOMENTUM DENGAN OPITUM

 

                                                Gambar : kegiatan literasi di perpustakaan


Cerita Literasi

Sisa – sisa debu  mengelayut di dinding dekat jendela kelas, gemerisik dan hilir mudik angin menjadi musik pengiring musim kemarau. Sunyi, hanya terdengar gesekan pena dengan kertas. Menyatu membumbungkan energi  sekumpulan anak - anak   untuk menggerakkan tangannya bertutur cerita. Enam menit telah berlalu, namun tiada desahan suara. Kelas masih sepi. Semua flow, setiap anak asyik dengan tulisan masing masing.

Free writing atau menulis bebas memang kerap dilakukan anak -anak sebelum pembelajaran, saya dan mereka  menyebutnya Opitum, Opini Tujuh Menit. Dimana anak - anak bebas menuangkan apa yang dirasa, apa yang dipikir, pendapat tentang suatu hal atau apa yang membuat mereka sedih bahkan bahagia ke di hari itu ke dalam bentuk tulisan dengan waktu tujuh menit.

Sebagai seorang guru yang mengharap anak didik bisa terampil menulis,  saya mulai mengenalkan budaya literasi kepada anak- anak sejak dini dengan mengajak mereka membaca, 15 menit sebelum pelajaran di pagi hari. Selain saya sisipi tentang motivasi dan manfaat membaca,  saya tawarkan kesepakatan kepada mereka untuk membaca buku sampai tuntas minimal satu buku setiap bulan. OMOB, One Month One Book. Tindak lanjutnya setiap anak mereview buku yang telah dibaca dan menceritakan di depan kelas. Mereka setuju, mulailah petualangan jalan literasi itu. Membaca buku, merangkum, menanggapi isi buku dan mengungkapkannya di depan kelas. Selanjutnya,  tiga bulan ini saya mencoba mengiringi budaya baca mereka dengan budaya tulis.

            Masih teringat ketika awal saya mengajak mereka menulis tujuh menit sebelum pelajaran di mulai. Semua mengeluh, semua teriak. Seperti Rosi yang berkali -kali mengatakan tidak bisa. Wildan yang selalu mencari alasan tidak akan mampu melakukannya. Namun saya tetap menyalakan alarm Hp dan mengatakan pada mereka, “Cobalah menulis dalam tujuh menit, apapun itu. Semua uneg -uneg dalam hati dikeluarkan. Tetaplah menulis sampai alarm berbunyi. Jangan tergoda berhenti untuk sekedar membaca atau mengeditnya, karena hanya akan membuat ide -ide yang ingin di ungkapakan, hilang.  Terus saja menulis, jangan takut salah. Tulis senyamanmu”. Semua mata fokus ke kertas dan pena masing – masing. Hening.

            Alarm berbunyi, tujuh menit sudah. Semua bernapas lega. Pena diletakkan. Beberapa anak mulai membaca dari awal tulisan. Ada yang mencoreti kertas, ada pula yang mengoreksi. Tiba –tiba Wildan tersenyum, “ Bu, ternyata aku bisa menulis satu halaman!” teriaknya. Disusul Rosi, “Aku juga Bu, hampir setengah halaman penuh”. Semua tertawa. Lama – lama mereka menyadari, kalau mau mencoba ternyata semua orang bisa menulis.

            Sejak hari itu, saya dan mereka memulai menulis sebelum pembelajaran dimulai, bersahabat dengan Opitum. Hari Ayah, Hari Guru, hari bahagia atau hari apapun kami abadikan dengan Opitum. Tak terasa satu buku sudah hampir penuh dengan tulisan berbagai opini hingga cerita. Bahagia rasanya berproses bersama – sama. Untuk menyempurnakannya,  saya  berupaya untuk  membukukan karya mereka.  Sejarah anak – anak hebat, sudah di mulai hari ini.

#OneDayOnePost

#ODOP

#Hari keempat

Tema Bebas