Muara Cendana
Tidak ada seorang wanita pun yang berniat menjadi perawan tua,
termasuk Cendana, sahabatku. Melajang diusia lebih dari 40 tahun tidaklah
menyenangkan, bukan karena stigma dan serentetan gelar negatif yang dia
sandang, melainkan rasa bersalah
kepada ibunya yang mengharapkan Cendana
sebagai anak tunggal untuk segera
menikah, namun tiada kunjung datang kepastiannya.
Ayu Cendana, siapa yang tidak kenal paras manten dari lereng Wilis
ini. Pengantin manapun yang tersentuh tangannya pasti manglingi. Orang rela melepas
pundi pundi uangnya, asalkan saat ngunduh mantu, Cendana yang memoles
riasan pengantinnya.Tak pelak, buah kecantikan dan ketenaran paes mantennya
membuat antri puluhan pemesan. Banyak pria melamar, namun Cendana hanya menggeleng
kepala.
“ Sampek kapan, kamu
terus menolak pria yang datang melamarmu Na? “ Dia menoleh memandangiku.
“ Menurutmu....sampai kapan,
Rum?”
Jawabnya sambil menuangkan teh anget ke cangkirku. Wajahnya terlihat santai. Ku
cubit pipinya yang tidak tembem, gemas. Dia cuek, tak membalas.
“ Jauh - jauh dari kota Nganjuk ke sini, kamu hanya ingin
menanyakan itu, Arum?” jawabnya tetap dengan ekspresi kalem.
“Aku hanya mengkhawatirkanmu.”
Kupandangi wajahnya yang tiba - tiba menunduk.
Dia tersenyum getir. Cendana, Sampai
kapan kamu seperti ini, menyendiri terlalu lama. Berkali – kali menolak
lamaran, tak urung membuatku resah.
Kurang apa coba, sahabatku ini, cantik, kreatif dan mapan. Ku tahu,
sendiri itu tidak menyenangkan. Harapanku Cendana segera menerima pinangan.
“Eh, hari ini kan Ulang tahun mu kan, Na. Nih, kadonya kubawakan
sambel kacang Mbok Penik kesukaanmu.” Kualihkan pembicaraan. Rasanya tidak
enak, di hari bahagianya harus membicarakan sesuatu yang membuat muram. Wajah Cendana
langsung berubah, dia tertawa .
“Pantesan kamu ke sini, Aku
tidak tahu harus bilang apa....kamu selalu ingat tanggal kelahiranku!” sahutnya
riang . Dia langsung mengambil bungkusan kresek hitam yang ku ulurkan,
membukanya dengan tergesa. Tak sabar mungkin ingin segera merasakan sambal
kacang pedas manis. Dari kecil dia memang suka sambal kacang, apalagi jika
sudah jadi pecel. Dia nggak akan menoleh kemana – mana. Pecel adalah salah
makanan khas Nganjuk. Pecel lebih nikmat
jika dipincuk daun pisang sebagai bungkusnya, ditambah rebusan
kulupan hijau seperti bayam, daun ketela, daun pepaya, kecambah ,
lamtoro mentah beserta guyuran sambal kacang, aduhai menggoda lidah. Apalagi
jika dilengkapi dengan krupuk bakar dan gorengan ote – ote. Hmmm... Mak nyus, sungguh
ngangenin rasanya.
Kembali kutatap wajah Cendana, tak urung ingin ku ucapkan selamat,
“Na, semoga di jadimu ini, kamu tambah.....” Belum sempat ku
selesai bicara.
“Tambah tua...!” Sergah Cendana. Langsung saja tawa lepas kami
menggema.
“ Aduh, Rum. Aku bingung
harus sedih atau senang sekarang. Senang karena ulang tahun, tapi rasanya
nyesek mengingati usiaku yang sekarang sudah kepala empat, jomblo pisan!”
Dia tergelak namun kurasakan gersang jiwanya.
“Ya, sudahi saja jomblo mu, ayok tak kenalin lagi. Stokku masih
banyak, mau yang berondong apa yang duren?” tanyaku setengah tertawa. Dia
langsung mencubit lenganku.
“ Hushh...panggah wae hobimu ! Selalu nawarin teman –
temanmu. Kamu memang perlu dikasih
sesajen , biar nggak ngomong terus. “ tukasnya sambil tertawa.
Memang hari ini ulang tahun Cendana yang ke 40.
Sengaja aku bertandang ke Ngetos, takkan kulewatkan ulang tahun sahabat karibku
ini. Untung Mas Bagas mengijinkan. Kalau tidak bagaimana mungkin aku bisa
sampai di sini. Suamiku memang selalu pengertian, selain kesabarannya
menghadapi keremponganku. Dia selalu bisa diajak kompromi. Seperti weekend hari
ini, dia bersedia mengajak dua jagoan kita, Linggar dan Bayu bermain di alun –
alun Nganjuk.. Rutinitas sebagai notaris di Nganjuk kota, membuatnya selalu tersandera dengan
tugas-tugas kantor yang menumpuk. Hingga hanya akhir pekan saja bisa meluangkan
waktu. Jadi, tak apalah sesekali
membiarkan ayah dan anak asyik berpetualang bersama. Sementara
aku, spesial hari ini bebas menikmati
me time bersama motor beat
kesayangan ke rumah sahabatku. Rasanya hilang semua penat. Iya, bahagia itu sederhana.
Aku dan Cendana bersahabat dari kecil. Tak heran, kami hafal karakter
masing- masing. Namun semenjak menikah, kami berjauhan karena aku mengikuti
suami di Winong, daerah kota Nganjuk. Ibu yang sendiri, ku boyong pula mendiami rumah suamiku. Karena
Ibu memang tidak bisa jauh dengan cucu – cucunya. Sementara Cendana masih di sini, berdua
bersama ibunya, Bude Mirah setia dengan Ngetos.
“Arum, menurutmu
apa aku salah sampai umur empat puluh tahun belum menikah?” Tanya Cendana tiba
– tiba. Pertanyaannya mengagetkanku.
“Enggak...Na!” Jawabku sambil memberesi beberapa kulit durian yang
masih berserakan.
“Rum, aku serius!” Di menatapku
tajam.
“Apa kamu butuh jawabanku jujur?” balik ku tatap matanya. Dia
mengalihkan pandangan, terlihat daun durian menari kecil di terpa angin.
“ Enggak ada yang salah dengan pilihanmu...Tapi Enggak salah juga
kan, kalau kau membuka hatimu, berkeluarga dan membahagiakan ibumu!” Dia diam termangu. Entah
kenapa aku berkata begini, ku anggap ini moment yang tepat, mungkin
mumpung suasana sepi. Bude Mirah, Ibu Cendana juga sedang ke warung tetangga..
Aku tahu harus lebih berhati – hati bicara. Meskipun dulu dia terkenal dengan kecuekannya.
Namun bisa jadi hatinya lebih sensitif sekarang ini. Sebagai sahabat, aku tidak bisa terus
mendiamkannya. Berkali kali Bude Mirah meneleponku, menanyakan barangkali ada
teman temanku yang masih single untuk dikenalkan padanya. Nggak tanggung
– tanggung, semua temanku sudah ku kenalkan. Mulai dari teman kuliah, teman kenalan
facebook, sampai teman kantor Mas Bagas . Lagi –lagi dia selalu menolak, padahal
kurang apa coba, teman –teman suamiku ini. Ganteng iya, tanggung jawab iya, mapan
iya. Apa sih sebenarnya yang Cendana cari? Sampai sekarang, malu rasanya kalau
jalan bareng dan kumpul kumpul bersama
teman Mas Bagas. Jadi ingat dengan penolakan Cendana.Walaupun setelah kejadian
itu mereka tidak pernah membahas lagi.
“ Na, apa kamu nggak pengen ada yang menemani ibumu, ada mantu
yang mengantarkan ibumu berjualan ke
Pasar, Lagipula ibumu kan sering sendirian kalau kamu sedang ada job merias? Trus apa selamanya kamu hanya merias manten, nggak pengen jadi
pengantennya” Tanyaku pelan. Cendana kembali tanpa suara.
“ Kamu nggak pengen tho, hari libur juga ada yang ngajak dolan
ke Air Terjun Sedudo, berdua jalan ke alun - alun Nganjuk kemudian mampir Pecel Bledek depan Gedung Juang atau Pecel
Mbah Ngantuk dekat rumahku. Cah Nganjuk banyak yang langganan lho sego pecel
sepanjang Jalan Ahmad Yani?” Godaku sedikit bercanda, tapi sebenarnya aku
serius.
Cendana tertawa, “ Ah..kau selalu berimajinasi tingkat tinggi. Faktanya..nggak
ada laki laki manapun yang mampu mencintaiku setulus itu!”
“Ada Na....kamu yang mungkin tidak menyadarinya.” Aku menatap
matanya.
“ Aku tidak siap, Arum!
“Nah..itu masalahnya, kapan kamu siap, kalau kamu memang tidak
pernah mau menyiapkan diri!” Cendana kembali terdiam. “ Cobalah
untuk membuka hatimu, pelan – pelan!”
Cendana diam, mempermainkan gawainya. Pura pura sibuk membalas
chat. Aku tau di lubuk hatinya mulai gamang.
“Entah Rum, setiap kali dekat dengan dengan
seseorang, saat hati sudah nyaman, tiba
tiba sisi hatiku lain merasa takut kehilangan, takut di sakiti, takut ditinggalkan, seperti yang dilakukan bapak
kepada ibuku dulu. Aku tidak bisa mepercayai laki laki manapun. Aku takut berkomitmen, aku ragu apakah ada yang benar-benar
mencintaiku”. Kulihat wajahnya merah,
marah dan sedih bercampur menjadi satu.
“Ada Na, jangan kau tutup terus hatimu. Tidak semua laki laki
seperti apa yang kau pikirkan, masih banyak laki laki yang akan menyayangimu
dan menerimamu apa adanya. Berpikirlah positif.” Ku usap bahunya, berusaha
menguatkan, agar dia yakin bahwa dia pantas dicintai.
Aku memahami perasaan Cendana. Perpisahan orangtua mungkin menjadi momok
mengerikan baginya. Imbasnya ketika dia mulai dewasa. Dulu Cendana sering melihat tindakan kasar bapaknya baik fisik dan
ucapan kepada ibunya. Bapak Cendana pun meninggalkan istri dan anaknya karena
menikahi sinden muda. Saat itu Cendana kecil menangis meraung raung
memegangi tangan bapaknya agar tak pergi, namun Bapaknya tak menoleh sekalipun,
sampai kini bahkan tak kembali. Sejak itu Bude Mirah membanting tulang memenuhi
kebutuhan hidup sendiri. Sehari – hari mengumpulkan rambanan kacang
panjang, bayam dan sayur sayura, ketela dari kebun untuk di jual di Pasar Berbek.
Susah payah Bude Mirah membawa gendongan rinjing yang berisi hasil
kebun dagangannya. Naik mikrolet menuju pasar Berbek setiap hari . Dari bakda shubuh
sampai sore. Demi menyekolahkan buah hatinya. Bersyukur Cendana bisa
melanjutkan sampai Tingkat Menengah Atas, karena kecerdasannya Cendana menerima
beasiswa kursus gratis di BLK Nganjuk, mengambil jurusan rias manten. Dia
merintis rias mantennya hingga laris manis sampai sekarang. Kini rumah mewah
dengan segala perabot lengkap mengganti rumah reotnya yang dulu hingga beberapa
tanah tetangga sudah tertebus menjadi miliknya. Cendana yang mapan namun
kesepian.
“ Na, pernikahan itu memang
tidak seindah video dan foto prewedding, tapi menikah akan membuat ibumu ayem
dan menggenapkan kebahagiaan hidupmu” Aku berusaha meyakinkannya kembali.
“ Entahlah, aku masih takut.” Ku lihat kebimbangan menyelimuti raut wajahnya.
Aku membiarkan Cendana duduk termangu, mengusap air mata yang menganak
sungai. Mungkin dengan cara ini sedikit membuatnya lebih lega. Pandanganku
mengarah keluar, tampak candi Ngetos yang
hanya terlihat pucuknya dari kejauhan.
Hari semakin sore. Akupun pamit pulang.
Usahaku kali ini meyakinkan Cendana untuk membuka hatinya, kembali tak
menemukan titik cerah. Aku belum bisa
meruntuhkan lingkaran kebimbangan dihatinya.
Setahun lagi, akankah aku punya kekuatan untuk kembali? Menyapa ulang tahunnya yang kadang ku merasa
itu bukan perayaan menggembirakan, tapi lebih seperti meratapi kesendiriannya. Aku
hanya tak ingin dia terus – terusan seperti ini.
Ah..Cendana, sampai kapan kau labuhkan muara hatimu?