Muara Cendana

Muara Cendana

 



gambar: pinterest.com

Cerpen

Tidak ada seorang wanita pun yang berniat menjadi perawan tua, termasuk Cendana, sahabatku. Melajang diusia lebih dari 40 tahun tidaklah menyenangkan, bukan karena stigma dan serentetan gelar negatif yang  dia  sandang, melainkan rasa bersalah  kepada ibunya yang mengharapkan Cendana  sebagai anak tunggal untuk  segera menikah, namun tiada kunjung datang kepastiannya.

Ayu Cendana, siapa yang tidak kenal paras manten dari lereng Wilis ini. Pengantin manapun yang tersentuh  tangannya pasti manglingi. Orang rela melepas pundi pundi uangnya, asalkan saat ngunduh mantu, Cendana yang memoles riasan pengantinnya.Tak pelak, buah kecantikan dan ketenaran paes mantennya membuat antri puluhan pemesan. Banyak  pria melamar, namun Cendana hanya menggeleng kepala.

Sampek  kapan, kamu terus menolak pria yang datang melamarmu Na? “ Dia menoleh memandangiku.

 “ Menurutmu....sampai kapan, Rum?” Jawabnya sambil menuangkan teh anget ke cangkirku. Wajahnya terlihat santai. Ku cubit pipinya yang tidak tembem, gemas. Dia cuek, tak membalas.

“ Jauh - jauh dari kota Nganjuk ke sini, kamu hanya ingin menanyakan itu, Arum?” jawabnya tetap dengan ekspresi kalem.

 “Aku hanya mengkhawatirkanmu.” Kupandangi wajahnya yang tiba - tiba menunduk. Dia tersenyum getir. Cendana,  Sampai kapan kamu seperti ini, menyendiri terlalu lama. Berkali – kali menolak lamaran, tak urung membuatku resah.  Kurang apa coba, sahabatku ini, cantik, kreatif dan mapan. Ku tahu, sendiri itu tidak menyenangkan. Harapanku Cendana segera menerima pinangan.

“Eh, hari ini kan Ulang tahun mu kan, Na. Nih, kadonya kubawakan sambel kacang Mbok Penik kesukaanmu.” Kualihkan pembicaraan. Rasanya tidak enak, di hari bahagianya harus membicarakan sesuatu yang membuat muram. Wajah Cendana langsung berubah, dia tertawa .

“Pantesan  kamu ke sini, Aku tidak tahu harus bilang apa....kamu selalu ingat tanggal kelahiranku!” sahutnya riang . Dia langsung mengambil bungkusan kresek hitam yang ku ulurkan, membukanya dengan tergesa. Tak sabar mungkin ingin segera merasakan sambal kacang pedas manis. Dari kecil dia memang suka sambal kacang, apalagi jika sudah jadi pecel. Dia nggak akan menoleh kemana – mana. Pecel adalah salah makanan khas Nganjuk.  Pecel lebih nikmat jika dipincuk daun pisang sebagai bungkusnya,  ditambah  rebusan  kulupan hijau seperti bayam, daun ketela, daun pepaya, kecambah , lamtoro mentah beserta guyuran sambal kacang, aduhai menggoda lidah. Apalagi jika dilengkapi dengan krupuk bakar dan gorengan ote – ote. Hmmm... Mak nyus, sungguh ngangenin rasanya.

Kembali kutatap wajah Cendana, tak urung ingin ku ucapkan selamat,

“Na, semoga di jadimu ini, kamu tambah.....” Belum sempat ku selesai bicara.

“Tambah tua...!” Sergah Cendana. Langsung saja tawa lepas kami menggema.

“ Aduh, Rum. Aku bingung harus sedih atau senang sekarang. Senang karena ulang tahun, tapi rasanya nyesek mengingati usiaku yang sekarang sudah kepala empat, jomblo pisan!” Dia tergelak namun kurasakan gersang jiwanya.

“Ya, sudahi saja jomblo mu, ayok tak kenalin lagi. Stokku masih banyak, mau yang berondong apa yang duren?” tanyaku setengah tertawa. Dia langsung mencubit lenganku.

“ Hushh...panggah wae hobimu ! Selalu nawarin teman – temanmu.  Kamu memang perlu dikasih sesajen , biar nggak ngomong terus. “ tukasnya sambil tertawa.

Memang hari ini ulang tahun Cendana yang ke 40. Sengaja aku bertandang ke Ngetos, takkan kulewatkan ulang tahun sahabat karibku ini. Untung Mas Bagas mengijinkan. Kalau tidak bagaimana mungkin aku bisa sampai di sini. Suamiku memang selalu pengertian, selain kesabarannya menghadapi keremponganku. Dia selalu bisa diajak kompromi. Seperti weekend hari ini, dia bersedia mengajak dua jagoan kita, Linggar dan Bayu bermain di alun – alun Nganjuk.. Rutinitas sebagai notaris di Nganjuk  kota, membuatnya selalu tersandera dengan tugas-tugas kantor yang menumpuk. Hingga hanya akhir pekan saja bisa meluangkan waktu.  Jadi, tak apalah sesekali membiarkan ayah dan anak asyik berpetualang bersama.  Sementara  aku, spesial hari ini bebas menikmati  me time bersama motor  beat kesayangan ke rumah sahabatku. Rasanya hilang semua penat.  Iya, bahagia itu sederhana.

Aku dan Cendana bersahabat dari kecil. Tak heran, kami hafal karakter masing- masing. Namun semenjak menikah, kami berjauhan karena aku mengikuti suami di Winong, daerah kota Nganjuk. Ibu yang sendiri,  ku boyong pula mendiami rumah suamiku. Karena Ibu memang tidak bisa jauh dengan cucu – cucunya.  Sementara Cendana masih di sini, berdua bersama ibunya, Bude Mirah setia dengan Ngetos.

 “Arum, menurutmu apa aku salah sampai umur empat puluh tahun belum menikah?” Tanya Cendana tiba – tiba. Pertanyaannya mengagetkanku.

“Enggak...Na!” Jawabku sambil memberesi beberapa kulit durian yang masih berserakan.

Rum, aku serius!” Di  menatapku tajam.

“Apa kamu butuh jawabanku jujur?” balik ku tatap matanya. Dia mengalihkan pandangan, terlihat daun durian menari kecil di terpa angin.

“ Enggak ada yang salah dengan pilihanmu...Tapi Enggak salah juga kan, kalau kau membuka hatimu, berkeluarga dan  membahagiakan ibumu!” Dia diam termangu. Entah kenapa aku berkata begini, ku anggap ini moment yang tepat, mungkin mumpung suasana sepi. Bude Mirah, Ibu Cendana juga sedang ke warung tetangga..

Aku tahu harus lebih berhati – hati bicara.  Meskipun dulu dia terkenal dengan kecuekannya. Namun bisa jadi hatinya lebih sensitif sekarang  ini. Sebagai sahabat, aku tidak bisa terus mendiamkannya. Berkali kali Bude Mirah meneleponku, menanyakan barangkali ada teman temanku yang masih single untuk dikenalkan padanya. Nggak tanggung – tanggung, semua temanku sudah ku kenalkan. Mulai dari teman kuliah, teman kenalan facebook, sampai  teman kantor  Mas Bagas . Lagi –lagi dia selalu menolak, padahal kurang apa coba, teman –teman suamiku  ini. Ganteng iya, tanggung jawab iya, mapan iya. Apa sih sebenarnya yang Cendana cari? Sampai sekarang, malu rasanya kalau jalan bareng dan kumpul kumpul  bersama teman Mas Bagas. Jadi ingat dengan penolakan Cendana.Walaupun setelah kejadian itu mereka tidak pernah membahas lagi.

“ Na, apa kamu nggak pengen ada yang menemani ibumu, ada mantu yang mengantarkan ibumu berjualan  ke Pasar, Lagipula ibumu kan sering sendirian kalau kamu sedang ada job merias? Trus apa selamanya kamu hanya merias manten, nggak pengen jadi pengantennya” Tanyaku pelan. Cendana kembali tanpa suara.

“ Kamu nggak pengen tho, hari libur juga ada yang ngajak dolan ke  Air Terjun Sedudo, berdua  jalan ke alun - alun Nganjuk kemudian  mampir Pecel Bledek depan Gedung Juang atau Pecel Mbah Ngantuk dekat rumahku. Cah Nganjuk banyak yang langganan lho sego pecel sepanjang Jalan Ahmad Yani?” Godaku sedikit bercanda, tapi sebenarnya aku serius.

Cendana tertawa, “ Ah..kau selalu berimajinasi tingkat tinggi. Faktanya..nggak ada laki laki manapun yang mampu mencintaiku setulus itu!”

“Ada Na....kamu yang mungkin tidak menyadarinya.” Aku menatap matanya.

“ Aku tidak siap, Arum!

“Nah..itu masalahnya, kapan kamu siap, kalau kamu memang tidak pernah mau menyiapkan diri!” Cendana kembali terdiam. “ Cobalah untuk membuka hatimu, pelan – pelan!”

Cendana diam, mempermainkan gawainya. Pura pura sibuk membalas chat. Aku tau di lubuk hatinya mulai gamang.

 “Entah  Rum, setiap kali dekat dengan dengan seseorang, saat hati sudah nyaman,  tiba tiba sisi hatiku lain merasa takut kehilangan, takut di sakiti, takut  ditinggalkan, seperti yang dilakukan bapak kepada ibuku dulu. Aku tidak bisa mepercayai laki laki manapun.  Aku takut berkomitmen, aku ragu  apakah  ada yang benar-benar mencintaiku”.  Kulihat wajahnya merah, marah dan sedih bercampur  menjadi satu.

“Ada Na, jangan kau tutup terus hatimu. Tidak semua laki laki seperti apa yang kau pikirkan, masih banyak laki laki yang akan menyayangimu dan menerimamu apa adanya. Berpikirlah positif.” Ku usap bahunya, berusaha menguatkan, agar dia yakin bahwa dia pantas dicintai.

Aku memahami perasaan Cendana. Perpisahan orangtua mungkin menjadi momok mengerikan  baginya. Imbasnya ketika dia  mulai dewasa. Dulu Cendana sering melihat tindakan kasar bapaknya baik fisik dan ucapan kepada ibunya. Bapak Cendana pun meninggalkan istri dan anaknya karena menikahi sinden muda. Saat itu Cendana kecil menangis meraung raung memegangi tangan bapaknya agar tak pergi, namun Bapaknya tak menoleh sekalipun, sampai kini bahkan tak kembali. Sejak itu Bude Mirah membanting tulang memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Sehari – hari mengumpulkan rambanan kacang panjang, bayam dan sayur sayura, ketela dari kebun untuk di jual di Pasar Berbek.

Susah payah Bude Mirah membawa gendongan rinjing yang berisi hasil kebun dagangannya. Naik mikrolet menuju pasar Berbek setiap hari . Dari bakda shubuh sampai sore. Demi menyekolahkan buah hatinya. Bersyukur Cendana bisa melanjutkan sampai Tingkat Menengah Atas, karena kecerdasannya Cendana menerima beasiswa kursus gratis di BLK Nganjuk, mengambil jurusan rias manten. Dia merintis rias mantennya hingga laris manis sampai sekarang. Kini rumah mewah dengan segala perabot lengkap mengganti rumah reotnya yang dulu hingga beberapa tanah tetangga sudah tertebus menjadi miliknya. Cendana yang mapan namun kesepian.

 “ Na, pernikahan itu memang tidak seindah video dan foto prewedding, tapi menikah akan membuat ibumu ayem  dan menggenapkan kebahagiaan  hidupmu” Aku berusaha meyakinkannya kembali.

“ Entahlah, aku masih takut.” Ku lihat  kebimbangan menyelimuti raut wajahnya.

Aku membiarkan Cendana duduk termangu, mengusap air mata yang menganak sungai. Mungkin dengan cara ini sedikit membuatnya lebih lega. Pandanganku mengarah keluar, tampak candi Ngetos yang  hanya terlihat pucuknya dari kejauhan.

 Hari semakin sore. Akupun pamit pulang. Usahaku kali ini meyakinkan Cendana untuk membuka hatinya, kembali tak menemukan titik cerah.  Aku belum bisa meruntuhkan lingkaran kebimbangan dihatinya. Setahun lagi, akankah aku punya kekuatan untuk kembali?  Menyapa ulang tahunnya yang kadang ku merasa itu bukan perayaan menggembirakan, tapi lebih seperti meratapi kesendiriannya. Aku hanya tak ingin dia terus – terusan seperti ini. Ah..Cendana, sampai kapan kau labuhkan muara hatimu?