POLIGAMI HINGGA REALITAS PESANTREN NOVEL DUA BARISTA
Judul :
Dua Barista
Penulis : Najhaty Sharma
Genre : Fiksi, Roman Religi
Penerbit : Telaga Aksara
Tahun terbit : 2020
Tebal : 495 halaman
Kemunculan
novel – novel islami membuat perubahan baru untuk sastra Indonesia. Di mulai
dengan Ayat – Ayat Cinta karya Habiburrahman hingga Asma Nadia serta penulis-
penulis islami lainnya. Sastra pesantren pun mulai menggeliatkan karyanya.
Sebut saja Hati Suhita karya Khilma Anis dan yang terbaru adalah Novel Dua
Barista karya Najhaty Sharma. Seperti kisah – kisah novel percintaan yang
di kemas dalam nuansa Islami. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta Gus
dan Ning dalam bingkai pesantren.
Bermula dari kisah Ahvash dan Mazarina, Seorang Gus dan Ning dari pesantren yang memiliki keilmuan tinggi, nasab yang baik dan derajat yang mulia di masyarakat. Hampir lima tahun menikah namun tak kunjung memiliki keturunan. Segala usaha telah dilakukan. Kenyataannya Mazarina divonis menderita penyakit yang mana dokter menyatakan satu-satunya pilihan untuk sembuh adalah dengan mengangkat rahim. Sepasang suami istri ini pun terpukul. Apalagi keduanya merupakan penerus estafet pesantren yang diharapkan umat. Tekanan untuk mendapatkan keturunan sebagai penerus pesantren dari pihak keluarga Gus Ahvash yang memang putra satu satunya, mengharuskan Mazarina untuk membuat keputusan penting.
Ahvash tak bisa berkutik ketika orang tua memintanya untuk poligami. Gelisah, siapa yang akan meneruskan pesantren ini? Disiapkanlah beberapa calon madu yang di ambil dari santri – santrinya sendiri. Di antara nama – nama yang tertera. Mazarina memilih Meysaroh sebagai calon istri kedua untuk suaminya sendiri, Gus Ahvash. Dari sinilah konflik mulai berjalan. Hari – hari yang dilalui Mazarina dengan kecemburuan namun tetap sabar dan melapangkan dada. Meysaroh yang berusaha sebaik – baiknya menjadi istri kedua dan Gus Ahvash yang terus bimbang karena hatinya masih sangat terpaut dengan cinta pertamanya, Mazarina. Apalagi ketika Mey benar – benar hamil. Bagaimanapun poligami tetap menyisakan luka, seperti yang di alami Mazarina. Pun juga Meysaroh. Kemunculan Juan Harvey, seseorang dari masa lalu Mazarina yang menyatakan siap mencintai dan menerima perempuan itu apa adanya walau tak lagi memiliki rahim membuat ending novel ini semakin membuat penasaran.
Membaca novel Dua Barista membawa perspektif tentang poligami dan eksistensi perempuan yang berbeda menurut saya. Mazaria seorang Ning yang dibesarkan dalam tarbiyah keilmuan karena memang kelak disiapkan menjadi seorang Bu Nyai, dimana dia harus paham dengan ilmu agama agar nanti bisa membimbing santri dan masyarakat. Karena didikan seorang Ning yang biasanya dihormati dan dilayani hingga dia tidak terbiasa mengerjakan tugas rumah tangga. Inilah selain polemik masalah dengan madunya, yang ternyata pintar memasak dan mengurus rumah tangga. Dia jadi merasa tidak enak sendiri dengan mertua. Meysaroh yang dari awal sudah menjadi qodam Ibu Ahvash. Bu Nyai Muhsonah, gurunya sendiri, terbiasa melakukan tugas rumah tangga, grapyak, tawaduk sesuai dengan yang diinginkan mertua, Mey memiliki tempat tersendiri di hati Bu Nyai. Kematangan ilmu yang dimiliki sebagai putri kyai, membuat Ning Mazarina mudah koreksi dan berbenah dalam menghadapi permasalahan ini. Sebagaimana kodrat perempuan, untuk menunjukkan eksistensinya Ning Mazaria pun mulai belajar memasak, menempatkan diri dengan baik di mata mertua dan ramah bersikap dengan masyarakat. Ada kata - kata yang selalu saya ingat yang maknanya dalam buku ini " Seberapa tinggi keilmuan dan karir perempuan, dia tetaplah wanita, yang tetap butuh memiliki keterampilan wanita, seperti memasak dan mengatur rumah tangga.
Yang menarik berikutnya adalah ketika ayah Mazarina, Kyai Mansyur mengatakan kepada Gus Ahvaz tentang sikap poligami selama ini kepada putrinya. Sebenarnya jika keluarga Ahvash mau bersabar bisa menunggu untuk mengadopsi anak. “Kalau bukan karena besarnya hormatku kepada Abahmu. Aku sudah mengambil Maza sejak dulu Gus. Ini tidak mudah baginya. Sebenarnya jika keluargamu mau bersabar , bisa saja menunggu cucu laki – laki ku entah berapa tahun lagi . Atau mengadopsi bayi dan dimahromkan dengan jalan Asi. Jaman sudah maju Gus. Masih banyak cara lain untuk menghindari pologami. Tapi ini sudah terjadi. Kalau kita mau merenung, meneruskan pesantren harus dengan keturunan sedarah bisa jadi bentuk kesombongan terselubung." ( halaman 402)
Dalam buku ini juga di
jelaskan bahwa sekelas maqomnya Mbah Kiai Sahal, Kyai Mundzir menantu Kiai
Munawwir Krapayak dan Habib Muhsin Mulahela tidak poligami lagi. Meskipun tidak memiliki keturunan dan
jelas -jelas mengampu santri dan umat yang besar. Pernyataan Kyai Mansyur ini
menunjukkan bagaimanapun seorang ayah, tetap tidak mau putrinya di poligami.
Seperti permintaan Nabi Muhammad ketika putrinya, Fatimah menjadi istri sayyidina
Ali.
Dari novel ini kita juga
belajar tentang realitas pesantren yang lain adalah bahwa pesantren
tidak harus posesif menjaga
penerusnya dengan keturunan sedarah sendiri, pesantren bukanlah kerajaan dengan trah yang turun - temurun. Kenapa takut mengkader orang lain (santri)? Bukankah
santri juga seorang anak ideologis? Warisan ilmu tidak selalu bisa dilanjutkan
dengan garis keturunan semata (nasab) saja tetapi bisa juga diwariskan
melalui garis keilmuan (sanad). Sehingga meskipun poligami diperbolehkan dalam Islam namun alasan poligami mengatasnamakan
agama dan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan pesantren hanya dengan satu darah saja, bisa
jadi memiliki unsur kesombongan belaka .