NAMAKU SRI
Cerita Anak
tujuh keliling aku tak
sanggup menghitungnya.
Aku teringat
ketika pak tani membantu proses kelahiranku dulu. Aku berasal dari biji padi.
Aku bisa tumbuh di mana saja. Baik di sawah maupun di ladang. Umumnya aku di
tanam di sawah yang banyak air. Aku tumbuh dalam bentuk rumpun, menggerumbul
dengan teman-temanku. Karena kalau tumbuh sendiri, aku kesepian dan rentan
terhadap hama penyakit.
Sebelum
benihku siap dibenamkan ke ibu pertiwi, aku berbentuk bibit. Bibitku berasal
dari gundulku yang mentes atau biji padi berisi. Untuk membedakan apakah
gundulku termasuk bibit unggul atau bukan, biasanya pak tani meletakkan
gundulku di dalam ember berisi air. Kepalaku dan teman-temanku yang tenggelam
berarti yang berisi alias bibit unggul. Kalau jumlahku cukup banyak biasanya
pak tani akan mengetesku dengan mengambil sampel 100 biji kepalaku. Jika yang
tenggelam sekitar 90 biji maka aku dan temanku di anggap benih unggul.
Pak tani
kemudian menanam benih padi yang berkecambah tadi ke lahan persemaian dengan
cara menaburkan secara merata. Tidak itu saja, pak tani merawat aku dan
teman-temanku dengan super sabar dan telaten. Pak tani tidak lupa selalu
menjengukku dan teman-teman setiap hari. Pak tani memperlakukanku seperti anaknya.
Ia biasa menjagaku di sawahnya. Ia hanya ingin memastikan bahwa kami tidak
kekurangan air atau kekeringan. Dan juga memastikan burung-burung Emprit
tidak datang untuk mencicipi bulir-bulirku yang lezat. Biasanya ia akan
memasang orang-orangan sawah yang ditarik dari satu tempat. Ketika burung
datang pak tani menarik orang-orangan tersebut sambil berteriak, “Hayo-hayo!” pada akhirnya para burung terkaget-kaget tidak
jadi memakanku.
Pelan-pelan
tapi pasti tubuh dan daunku menjadi ulet. Dari warna hijau muda berubah menjadi
hijau tua. Kemudian berangsur-angsur menjadi coklat muda. Pada saat itulah, pak
tani merasa senang dan gembira karena sebentar lagi mereka bisa memanenku.
Dari sinilah
penderitaanku dimulai. Seperti pada waktu pagi itu. Banyak temanku yang
terpisah. Aku tercerabut dari akarku. Berpisah dari ibu yang telah melahirkanku.
Tapi aku percaya pada pak tani yang sudah kuanggap sebagai ayah sekaligus bapakku.
Semua itu demi masa depanku. Agar aku lebih berguna demi keberlangsungan kehidupan
manusia. Berguna menjadi beras, menjadi nasi, nasi pecel, nasi kuning, nasi padang dan masih banyak macamnya. Berguna
sebagai makanan pokok dan sumber tenaga atau kalori bagi seluruh umat manusia.
***
Malam semakin larut saat seseorang tiba – tiba mencidukku dan teman
– temanku, kami di timbang dengan alat yang besar. Setelah mantab lima kilogram,
kami di pindah dalam kemasan plastik bening dengan di lem erat.
Kata Gogo temanku, kami akan di jual di pasar atau supermarket. Di pasar
kami akan banyak bertemu dengan orang-orang dari level manapun, dari orang sederhana
sampai orang kaya bahkan yang yang bersikap berada. Orang-orang ini akan
gampang menawar. Sehingga di tempat ini, ramai dan berisik adalah hal yang
sering di temui. Lain halnya jika di supermarket. Kami bisa melihat orang-orang
yang harum parfum dengan dandanan yang elegan. Lampu – lampu ditata menyala,
ruangannya harum dan dingin.. Kami akan ditata dengan rapi sehingga orang orang
tertarik untuk membeli.
Namun seperti apapun tempatnya, harapanku aku dapat bermanfaat. Aku ingat
pesan ibuku bahwa beruntunglah kau jika menjadi nasi, kebanggan tersendiri bisa
menjadi bagian sumber energi bagi manusia. Karena sebaik-baiknya kehidupan
adalah yang bermanfaat untuk semesta, harapanku aku menjadi bagian itu.
Tibalah aku di suatu rumah yang tampak megah, penuh dengan taman dan bunga.
Kuingat perempuan yang dari tadi mengamati kemasanku saat di supermarket ,
ternyata membeliku dan membawa pulang. Aku senang, rasanya tidak sabar untuk
menjadi bagian dari sumber makanan mereka.
Kulihat Ibu dan anak sedang berbincang asyik di teras. Pak tua yang menggotong tubuhku tampak berjalan
pelan dan sedikit membungkuk, sewaktu melewati seorang perempuan dengan
dandanan yang menyala, gemerincing suara gelang emas ditangannya mengacaukan
pendengaranku. Pak Tua bersikap sopan pertanda ia menghormati perempuan itu.
“Jangan lupa, besok pagi semua makanan harus ready semua, jam 8
acara Ulang tahun Caesar akan dimulai”
kata Nyonya bergelang lima emas itu mengagetkan laki-laki yang mengangkat
tubuhku.
“ Iya nyonya, kami siapkan” Kata laki-laki itu sedikit takut.
Laki-laki tua segera ke suatu ruangan yang banyak sekali bahan makanan
berserakan. Aroma rebusan daging dan bawang goreng harum memenuhi ruangan,
beberapa orang perempuan terlihat sibuk. Menggoreng kentang, mengiris cabe, dan
sesekali terdengar gelak tawa mereka. Meriuhkan suasana.
Laki-laki tua itu menurunkanku pada lantai keramik putih.
“Mak Siyah, jangan lupa nasinya harus sudah siap untuk sarapan. Jangan
sampai telat, nanti Nyonya besar,
seperti kemarin. Bisa–bisa kita dipecat seperti Kang Deden. Lagi pula aku masih
pengen di sini, Si Arman butuh uang banyak buat persiapan biaya ujian akhir
sekolah“.kata Laki – laki tua itu dengan risau.
“Tenanglah, Kang Udin… Jam 3 malam nanti akan ku mulai tanak nasi. “
“Tenan Lo, “Mang Udin memastikan.
Pagi menjelang, aku sudah di sini. Bersama segala masakan yang tertata
rapi. Capjay, Bakso, pecel, lontong balap, es krim, kue – kue coklat dengan
aneka assesoris yang menghiasi.
Beberapa orang ibu-ibu datang,
mereka berkumpul dan memperbincangkan apa saja. Dari saudara terjauh sampai
tetangga, dari atasan sampai suaminya. Semuanya terurai habis. Sampai aku bisa
mendengar dari cerita A sampai Z.
Diikuti hingar bingar anak – anak mereka. Berlarian sepanjang ruangan.
Beberapa anak mengambil balon warna – warni. Seorang badut memamerkan
sulapannya. Tiba – tiba dari balik topi hitam Sang Badut, menyembul seekor
merpati putih yang cantik. Anak – anak teriak histeris, bertepuk tangan dengan
kagum dan senang. Merpati terbang mengitari ruangan dan hilang di balik
jendela.
Saatnya yang di tunggu tiba,
setelah pemotongan kue tart. Para undangan menyerbu ruang makan. Beberapa orang
tua mengambil pecel, lontong balap khas Jawa. Anak – anak menyantap bakso dan
es krim dengan wajah riang. Aku pun menyiapkan diri, dengan segala keistimewaanku.
Nasi dengan warna kuning yang mempesona. Dihiasi dengan pernak- pernik mie,
potongan telur dadar, ayam panggang di lengkapi dengan hiasan hijau daun pisang.
Berharap bisa dinikmati setiap orang dengan hati senang.
Semakin siang aku mulai resah, tiada yang menciduk nasiku, nasi kuning yang
sengaja dimasak Mak Siyah ternyata masih sepi peminat. Mie ayam, bakso, capjay hampir
semuanya ludes.
Aku duduk termangu. Menunggu seseorang yang mau memindahkan kami ke
piringnya. Berharap kami memberi manfaat untuk di santap sebagai penambah energi
manusia. Seseorang yang ku tunggu, ternyata datang juga. Seseorang yang akan
menggenapi cita–citaku, sebagai bahan pokok. Seseorang yang bisa menggenapi fitrah
kami, menjadi sumber energy untuk manusia.
Anak itu terus mengunyah teman- temanku
dengan lahap. Tinggal sedikit lagi sendok itu meraihku. Tiba- tiba,
“Caesar, ayo Nak…Tante Amanda sudah menunggumu. Jangan lupa bilang terima
kasih ya untuk kadonya” kata Nyonya besar membisikkan sesuatu pada anak yang sedang
asyik makan ini. Buru-buru dia meletakkan piring dan menghambur pergi. Menyisakan
aku yang dari tadi menunggu. Aku terdiam dalam piring yang membisu. Kami nasi
kuning dalam piring biru cantik hanya saling memandang berharap ada yang melanjutkan
menyantap nasi kuning ini.
Satu jam, dua jam, hingga beberapa orang berpamitan. Mereka saling
berpelukan dan tertawa ceria melambaikan tangan. Aku hanya bisa membesarkan
hati, berharap ada seseorang yang mau meluangkan waktu menyantap sisa makanan
ini.
Dua orang datang, merapikan meja, mengemasi piring-piring dan mengangkatku
pergi. Pelayan itu menyendok tubuhku, menjatuhkanku pada sebuah benda seperti
bak hitam besar. Dia memiringkan piring, mendorong sendok menyapu bersih isi piring.
Sendok itu mendorong tubuhku dan teman – temanku. Kami jatuh ke dalam bak
dengan teriakan dan tangisan yang tak terdengarkan
“Tidakk…jangan buang aku, ku mohon….” Pintaku.
“Aku adalah sumber energi besar untukmu,
Aku jatuh, tergeletak. Antara sadar dan tidak, berharap dalam ketidakpastian.
Kau pastinya tahu berapa lama aku dan teman temanku berpayah-payah. Kau tahu
proses kami kan? Bagaimana gabah menjadi beras dan dimasak menjadi nasi kuning.
Kau tahu kawan, itulah keadaanku kini. Ternyata nasibku berakhir seperti
ini. Berhari-hari kami dalam kresek hitam, penuh bau. Kami menangis dan
berpelukan bersama-sama, menangisi takdir, ternyata kami harus berakhir seperti
ini. Sesak nafasku, tapi mungkin ini sudah jalanNya. Gagal cita-citaku menjadi
sumber energi, aku harus terhempas dan basi.
Kawan, itulah proses kehidupanku. Penuh suka dan duka. Setelah
mengenalku dan tahu riwayatku, maukah kau berteman denganku?
Marilah kita bersahabat kawan. Kau tahu kan
bagaimana perjuanganku untuk menjadi sebutir nasi. Perjuangan yang sangat
lama dan penuh pengorbanan. Aku harap engkau menghargai arti persahabatan.
Janganlah membuang nasi walau hanya sebutir. Cintailah aku seperti engkau
mencintai kehidupan. Seperti cintanya petani kala menanamku, merawatku dan
memanenku. Pada akhirnya, mereka ikhlas melepaskanku berproses menemukan
nasibku.
Kalau kau merasa kelebihan nasi berikanlah ke
orang lain. Tolong, jangan menghambur-hamburkanku. Karena di belahan bumi lain
masih banyak teman kita yang kesulitan untuk makan. Apalagi untuk memakan nasi. Aku harap kau dengar suaraku.
*****