PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
Gambar : radioidola.com
Setahun yang lalu ku lihat
Yayan masih termangu, tatapannya resah. Hari
– harinya yang biasanya bersemangat, mendadak jadi layu. Resah memikirkan
bagaimana nanti nilai ujian akhirnya, dari kecil dia memang sering mendapat
nilai minim di akademik. Sejak kecil dia memang lebih suka olahraga. Kemampuan
kinestetiknya tinggi. Sehari – hari selain belajar di sekolah menengah, dia membantu
kakaknya berjualan es juice sepulang sekolah. Mengingat kedua orang tuanya
telah meninggal beberapa tahun silam. Namun dia ingin tetap lulus sekolahm
meskipun standart kelulusan membebaninya.
Sebagai seorang pengajar,
saya mengalami sendiri bagaimana sulitnya menyiapkan mental siswa untuk
menghadapi ujian nasional. Setiap tahun, Ujian Akhir Nasional menjadi momok
paling menakutkan bagi anak didik. Apalagi bagi mereka yang berada pada jenjang
sekolah menengah. Untuk itulah, berbagai cara dilakukan siswa hanya demi
ujian yang menakutkan tersebut mereka
akan berusaha secara mati-matian pada detik-detik akhir ini. Mereka berjuang
sampai titik darah penghabisan hanya untuk mengejar nilai standart kelulusan.
Jika Ujian Akhir yang
berbasis nilai akademik adalah hidup dan mati, apa
nilai guna proses belajar selama tiga tahun . Padahal setiap anak memiliki
bakat masing masing. Terkadang kecerdasan mereka tidak selalu di akademik,
tapi berbakat di bidang yang lain. Kenapa Ujian Akhir menjadi
tak ada relevansinya dengan proses tersebut?
Padahal dalam setiap pendidikan yang harus diperhatikan
adalah proses. Inti sejati pendidikan adalah perubahan dan hal itu hanya bisa
tercapai melalui proses yang panjang. Proses tersebut, nantinya mengantarkan
pada perubahan untuk menuju kemajuan sesuai dengan bakat anak masing – masing.
Ironis memang, kegiatan
belajar megajar (KBM) selama tiga tahun keberhasilan hanya di ukur dalam waktu
± 5 hari. Itupun dengan hanya memperhatikan lima atau enam bidang studi pokok. Padahal,
evaluasi pun jika mengharapkan hasil serba instant akan berakibat fatal pada
semua pihak. Korban paling dirugikan adalah mereka yang gagal. Karena baik
sekolah maupun sistem tak pernah mempersiapkan sepenuhnya untuk suatu
kegagalan. Sekolah hanya memproduksi peserta didik agar mampu melewati Ujian
Nasional dan supaya nama sekolah “tetap harum”. Sedang sistem sendiri, juga tak
ada usaha penanganan akan kegagalan tersebut secara serius. Jadi jangan heran,
kalau setelah Ujian Akhir Nasional banyak anak depresi.
Hal tak kalah ramai setelah Ujian
Akhir Nasional adalah pelanggaran-pelanggaran terjadi. Mulai kebocoran soal
sampai kerjasama menyontek. Kalaupun standar evaluasi kemampuan harus ada, maka
pendidiklah yang paling berhak dan cocok menentukan. Karena hanya para pendidik
yang paling tahu kemampuan setiap anak didik. Pendidik sudah seharusnya
memiliki wewenang dan otoritas penuh menentukan kelulusan.
Pada akhir
tahun 2019, kabar gembira untuk dunia pendidikan di
Indonesia. Setelah melakukan banyak pengkajian dan mengalami pro – kontra. Bapak
Menteri yang baru, Nadiem Makarim menyatakan, UN
Tahun 2020 adalah yang terakhir kalinya akan dilaksanakan
di Indonesia. Untuk 2021, ujian itu akan diganti dengan asesmen kompetensi
minimum. Ke
depan, format ujian ini akan diubah menjadi asesmen kompetensi
minimum dan survei karakter yang hampir mirip seperti PISA, yaitu literasi, numerasi, disertai satu survei karakter.
Menurut rencana, pelaksanaan asesmen kompetensi minimum akan dilakukan oleh
murid atau siswa yang berada di tengah jenjang sekolah (misalnya kelas 4, 8,
11), sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu
pembelajaran.
Awal Maret 2020, negara kita
mendapatkan musibah pandemi Covid 19 dimana hampir semua negara mengalaminya.
Hal ini juga berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan. Dikarenakan pandemi ini, Nadiem
Makarim dan pemerintah mengambil kebijakan untuk
membatalkan Ujian Nasional (UN) 2020. Langkah ini diambil demi melindungi keamanan dan kesehatan para
siswa. Prinsip dasar Kemendikbud adalah keamanan dan kesehatan siswa beserta
keluarga. Karena jika siswa melakukan UN di tempat-tempat
pengujian bisa menimbulkan risiko kesehatan. Dengan demikian UN benar – benar
telah dihapus dari negara kita.
Pendidikan adalah hak setiap
warga negara. Sebagaimana amanat pasal UUD 1945 bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak. Sudah menjadi
kewajiban Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan. Kemudian meratakan
kepada setiap warga negara sehingga pendidikan tak lagi monopoli pada kaum tertentu
atau kelompok tertentu, yang hanya bertujuan untuk kepentingannya saja.
Nantinya, semua orang merasa
perlu dengan pendidikan sehingga pendidikan bisa menjadi tuan di negeri
sendiri. Sang tuan mampu mengelola negeri yang dimiliki dengan optimal. Tak ada
lagi intervensi pendidikan dari pihak manapun. Selanjutnya, pendidikan akan
sangat berguna, tidak hanya bagi sebagian, tapi semua yang ada dalam NKRI. Tak
ada lagi Yayan – Yayan
yang merasa tertekan dengan pendidikan. Yang ada pendidikan yang adil untuk
semua orang.