PESONA SEDUDO

PESONA SEDUDO



Hembusan angin Nganjuk menerpa wajahku ketika motor matic membawaku melaju di kilometer satu.  Posisiku yang duduk dimotor  belakang  membuatku bisa leluasa melihat lalu lalang kendaraan dan indahnya panorama. Memang traveling dengan naik motor memiliki keasyikan tersendiri, selain bebas menikmati pemandangan secara langsung juga, saat macet tetap bisa jalan walaupun nyelip-nyelip. Sensasinya bikin nagih.

            Hari ini aku dan suami berencana traveling menikmati Sedudo, Salah satu air terjun yang berada di Kecamatan Sawahan Kabupaten Nganjuk. Nganjuk sendiri merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur, terletak di Lereng gunung Wilis dengan Brambang (Bawang Merah) sebagai salah satu hasil komoditas pertaniannya. Nganjuk berjuluk kota Angin, dinamakan kota Angin karena memang berisiknya suara angin tidak biasa dikendalikan, terutama pada bulan Juli sampai bulan Agustus. Raja Angin akan mengitari kota Nganjuk, hembusan anginnya seperti suara ombak besar di pantai hingga mendinginkan indera.

Pernah sahabatku yang baru pindah dari Blitar ke Nganjuk berkata, “Aku kira Nganjuk disebut kota Angin itu hanya julukan saja, ternyata benar, gemuruh dan hembusan anginnya pada bulan – bulan musim kemarau memang terdengar hingar ditelinga dan badan menjadi menggigil. “ Aku hanya tertawa, memang bagi para pendatang, musim kemarau adalah malam – malam yang panjang. Malam yang kadang membuat orang tidak bisa tidur nyenyak, karena nyanyian Raja Angin akan bergemuruh membahana memenuhi seantero Nganjuk. Kalau ingin merasakan sensasinya, ayolah main ke Nganjuk. Bulan Juli – Agustus saat musim mbediding akan terasa serangan angin dan tempaan dingin.

Memasuki daerah Kuncir, jalan mulai menanjak. Melewati Jembatan Kuncir mata langsung disuguhi aliran sungai yang besar dan hijaunaya pematang sawah. Kawasan ini terlihat ramai, tak heran karena ada kuliner lezat disini yang mengundang tamu pengunjung parkir kendaraannya. Tepatnya di sebelah makam, Dusun Kuncir. Asem – asem kikil atau kaki kambing Bu Sri (Sri Astutik) memang rasanya benar – benar menggugah selera. Perpaduan antara rempah rempah seperti cabe, belimbing wuluh, asam jawa dan nanas menjadikan rasa kikil kambing berbeda, apalagi rasa kuahnya yang segar dan pedas, di jamin maknyus. Tak heran, asem – asem berkuah yang seporsi seharga 30.000 ini memiliki pelanggan yang melimpah, buka jam 10.00 tidak sampai tiga jam berikutnya akan ludes. Pelanggan sering tidak kebagian, namun jangan khawatir karena ada sate dan gule yang juga tak kalah menggodanya.

Sesampai di terminal angkot yang tepatnya berada di depan Pasar Sawahan, udara terasa lebih dingin, udara pegunungan terasa segar. Jalan semakin berkelok-kelok, di kiri-kanan tampak pohon cengkeh, jeruk, kopi serasa berdiri mengamati keberadaanku yang terus melaju. Tiba – tiba aku terkesima, bunga – bunga berderet membentuk taman di sepanjang jalan, mawar merah dan mawar putih lambang bunga para pecinta yang tak pernah usai. 



Nama Sedudo sendiripun juga berasal dari kata “se “ yang artinya satu atau seorang dan “dudo” dari kata duda artinya seorang laki laki yang telah menikah dan berpisah dengan pasangannya. Bisa jadi ‘sedudo’ di artikan sebagai petilasan seorang duda yang mengembara. Masyarakat berkeyakinan dari situlah muncul penamaan kata sedudo. Mau percaya atau tidak, .itulah mitosnya.

Di perjalanan kami melewati desa Ngliman, nama desa ini di ambil dari seorang tokoh yang bernama Ki Ageng Ngaliman, tokoh yang dipercaya sebagai penyebar agama Islam. Ada yang percaya bahwa Ki Ageng Ngaliman hidup pada masa kerajaan Majapahit. Dimana saat itu Majapahit merupakan kerajaan besar di pulau jawa. Patih Gajah Mada adalah seorang yang sangat berpengaruh di kerajaan Majapahit. Sebelum meninggal beberapa orang percaya beliau bertapa sekitar daerah air terjun di lereng gunung Wilis hingga sampai akhir hayatnya. Masyarakat di sini percaya air terjun yang di maksud adalah air terjun Sedudo. Sehingga air terjun Sedudo di sakralkan sampai saat ini,airnya di anggap suci. Setiap Bulan Suro selalu ada upacara siraman sebagai ritual sedudo.

Semakin ke atas, jalan semakin menanjak, udara semakin dingin, di sebelah kanan tampak sebuah tulisan “Situs Condrogeni”. Dari dulu jika berkunjung ke Sedudo, aku belum pernah mampir ke sini, kata si tempat ini ada patung condrogeni, dipercaya patung seorang patih dari Kerajaan Ngatas Angin. Situs ini dahulunya sebagai penanda wilayah kepatihan Raden Bagus Condrogeni. Tempat ini sering digunakan sebagai tempat untuk te mpat pertapaan (meditasi) karena suasananya hening dan tenang.

Tibalah kami di loket karcis, petugas segera memberikan dua karcis. Dua puluh empat ribu untuk dua orang dan satu motor katanya. Setelah ku terima karcisnya, langsung kami lanjutkan perjalanan ke Air terjun Sedudo. Tidak sampai 10 menit samapailah kami di tempat tujuan. Subhanallah….amboi elok banget panoramanya. Air terjun yang kata orang memiliki ketinggian air 105 meter ini, terlihat menjulang tinggi. Percikan airnya berjatuhan menyatu dengan kolam alami yang ada di bawahnya, terlihat seperti tirai bening yang segar menggugah rasa. Rasa penat selama perjalanan hilang sudah.

Kuturuni puluhan tangga dan kuhirup dan menghembuskan nafas, mengisi udara segar sebanyak – banyaknya agar dada kembali terisi dengan udara semesta yang berenergi untuk kembali mengisi kekuatan,sebelum kuturuni tangga untuk menyentuh air secara langsung. Beberapa orang terlihat mandi bersama pasangan dan keluarga, liburan seperti ini memang saat yang tepat untuk berkumpul dan refreshing bersama sanak family. Kesibukan selalu menjadi alasan orang sulit untuk berkumpul, namun sesekalilah perlu quality time bersama. Kebersamaaan akan membuat hubungan keluarga semakin erat.  Sesibuk apapun beraktifas, maka keluarga akan selalu menjadi muara tanpa batas.

Kususuri toko – toko oleh oleh dan kuliner, mencari the hangat dan jagung bakar.  Ternyata disini banyak ragam kuliner seperti klepon, cenil, sego tiwul dan gorengan khas. Dinginnya Sedudo terasa sirna berganti dengan hangat yang meresap, ketika menikmati kuliner Anjuk Ladang yang hangat. Adanya perasaan nyaman yang bergulir dalam riuh gemericik air.

Puas menikmati keindahan alam dan kuliner, kamipun tak lupa swafoto di beberapa spot. Lumayan. setidaknya penanda bahwa kita pernah ngetrip di air terjun sedudo, ikon kota Nganjuk ini. Saat turun kami menyempatkan mampir di Taman Watulawang. Destinasi wisata yang berada di dekat Sedudo. Taman yang sering dikunjungi para remaja untuk camping atau sekedar mencoba jalur menanjak.  Karena di atas bukit nanti akan bisa melihat destinasi Air terjun sedudo dari atas dan keindahan lereng gunung Wilis.



Pukul lima sore kita pun melaju turun gunung, sunset di balik perbukitan serasa menemani perjalanan kita pulang. Menyenangkan sekali bisa kembali menikmati keindahan semesta. Alam yang indah dan masyarakat yang ramah. Serasa memberi energi baru untuk esok beraktifitas kembali. Hembusan angina Nganjuk kembali menerpa wajahku, dingin, namun merindu.  Berharap bisa kembali menyapa tempat ini di lain waktu.