CUACA BURUK SEBUAH BUKU PUISI : IBE S.PALOGAI
MENGENANG SEJARAH DALAM PUISI _PUISI IBE
Adegan
perang di halaman dua puluh satu, buku puisi itu
Melukai
cuaca buruk yang dibacakan
Pewarta
berita berbaju biru dengan lebam di lengannya.
Bukankah
liang kubur diletakkan di sampul buku
Agar kau
tak keliru menebak kemana rantau membawa kekasihmu?
(Ibe, halaman 15)
Review buku
puisi
Judul : Cuaca Buruk Sebuah Buku
Puisi
Penulis : Ibe S. Palogai
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tebal :
92 halaman
Tahun : 2018
September
2019, Saya mendapatkan kesempatan mengikuti Festival Literasi Indonesia dalam
rangka memperingati Hari Aksara Internasional, yang di selenggarakan oleh
Kemendikbud di Makasar. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah pelatihan
menulis, cerpen dan puisi. Tiap peserta diminta untuk memilih salah satu. Karena
merasa kesulitan membuat puisi, maka saya pun memilih untuk mengikuti kelas
puisi.
Kelas
cerpen akan ditemani oleh penulis Faisal Odang sedangkan kelas puisi bersama dengan Ibe S. Palogai. Keduanya adalah penulis asal Sulawesi Selatan. Dan dua -duanya
adalah penulis yang mendapatkan kesempatan beasiswa residensi penulis ke ke luar negeri terkait dengan riset tulisannya. Pertama kali bertemu dengan Ibe, saya terkejut ternyata orangnya masih
muda. Dengan kostum sopan yang tak pernah terpikir bahwa dia penulis puisi.
Membayangkan orang - orang yang berkecimpung dalam puisi biasanya adalah orang
orang penikmat sastra, seniman atau suka terater. Tapi ternyata s Ibe ini
rapi banget, malah terkesan seorang eksekutif.
Di awal
saya merasa heran, bagaimana puisinya bisa terseleksi sampai mendapat beasiswa
riset di Belanda. Ternyata Ibe memang suka menulis puisi tentang sejarah.
Kekuatannya ada pada lirik liriknya. Lirik lirik bermakna realitas namun sangat
kuat dengan kearifan lokal, budaya dan sejarah. Apa yang melatarbelakangi Ibe
menulis puisi epik berlatar sejarah?
Ibe
bertutur, sepanjang masa kecilnya ia kerap melihat pertengkaran pertengkaran
teman sebayanya, di samping juga masyarakat sekitar yang masih mempertentangkan
suku bahkan pernikahan antar dua keturunan yang berbeda. Hal- hal seperti ini
membuat banyak orang berselisih. Ibe kecil sering bertanya tanya kenapa banyak
sekali orang suka berselisih, namun Ia hanya mengamati dalam sendirinya. Diam -
diam dia menulis kegelisahannya dalam bentuk sajak sajak, yang akhirnya menjadi
kebiasaannya menulis puisi.
Saat meminta
tanda tangan bukunya, saya pun bertanya. Bagaimana masa kecilnya, ternyata Ibe
adalah seorang putra dari tokoh yang memiliki pondok pesantren. Jika di Jawa, Ibe ini pasti mendapat julukan " Gus". Putra dari seorang kyai. Ibe kecil di
didik dengan disiplin, dia bahkan diminta ayahnya untuk melebur dengan santri
dan mengikuti semua kegiatan pondok pesantren di rumahnya. Namun Ibe dari
kecil memang tidak menyukai keramaian. Hingga kadang lebih suka menyendiri
dan menulis puisi puisi.
Buku Cuaca
Buruk Sebuah Buku Puisi ini memuat
40 puisi dengan tulisan kegelisan tentang perselisihan dan perang yang terjadi
di Makasar. Lirik-liriknya sangat kuat namun sarat dengan keindahan bahasa. Penyair
yang pernah diundang di Makassar International Writers Festival (2016) dan Ubud
Writers and Readers Festival (2017) ini, dalam puisinya, mengajak pembaca
merasakan genderang perang yang ditabuh di Makassar pada 21 Desember 1666. Dimana dalam peristiwa ini ditandai dengan penandatanganan perjanjian Bungaya oleh kerajaan Gowa dan VOC.
Di sisi lain, pembaca pun seakan dikoyak saat sampai pada kelihaian penyair
menggambarkan harga diri Arung Palakka dan rakyat Bone yang dipermalukan oleh
Karaeng Karunrung ketika meminta mereka menggali parit sepanjang Barombong
hingga Ujung Tanah.
Puisi-puisi Ibe dalam buku ini juga mengutamakan bentuk yang seimbang. Melupakan huruf besar atau kecil, larik puisi dapat terdiri dari satu, dua, hingga tiga baris per bait. Bait-bait disusun secara seimbang dan diletakkan kadang sejajar, kadang pula zig-zag kiri dan kanan ke bawah. Saat menulis puisi ini, Ibe mengaku mengendapkan diri selama empat tahun untuk membuat buku yang penuh dengan muatan sejarah ini. Karena dalam buku ini Ia harus riset terlebih dahulu.
Ada dua peristiwa ikonik yang menjadi latar
belakang buku ini yaitu konteks sejarah perang Makassar serta luapan imajinasi.
Ketika ditanya mengenai alasan mengangkat perang Makassar sebagai ide pembuatan
puisinya, Ibe merasa lebih menarik membahas asal usul kedaerahan dan konflik
yang terjadi di daerah dan Ia tertarik menggunakan sarana puisi karena meyakini
puisi mempunyai peluang untuk menawarkan metafora-metafora lain. Menurut saya, buku ini
sangat menarik dan patut untuk dibaca bagi pecinta sastra sejarah.