GURU DALAM JERAT PANDEMI
Malam
- malam, antara merem melek. Gadget berbunyi. Kubuka dengan setengah
sadar, satu notif dari teman mengajar, "Bu dengarkan curhatku.” Mataku langsung terbuka. Kuamati
gambar yang dikirimnya. Gambar laporan penyerahan tugas siswa di Google
Clasroom. Tertera 4 diserahkan dan 28 ditugaskan. Artinya dari 28 siswa
hanya 4 siswa yang mengerjakan sesuai batas waktu. "Aku bingung
menanggapinya" katanya kembali. Meskipun agak setengah kaget, karena aku
tahu ini adalah laporan tugas siswa dengan mata pelajaran yang diampu temanku
ini.
Untuk
mendinginkan hatinya, ku jawab juga, "Di maafin aja, Bu" sambil
mengucek ngucek mata yang masih ngantuk.
"
Sudah beberapa kali dimaafkan, masak dimaafkan lagi. “ Ujarnya kembali. "Sudah
terlalu banyak kata maaf, Bu. Soale tiap tugas begini."
"Langsung
bilang ke mereka, maunya pembelajaran seperti apa? Biar sama – sama enak ".
Jawabku memberi saran.
"
WA wali kelas gimana responnya?” Kutanya kembali.
"Saya
pun pernah WA wali kelasnya konsultasi. Tapi kelas ini tetap begini, seperti
nggak butuh pelajaran. Mau bagaimana lagi, bingung.” Satu emot pusing terpampang.
“Besok
coba tak tanya masih pengen belajar mapel ini apa enggak. Kalo enggak minggu depan tak kosongi aja”.
Katanya dengan emot sedih.
Aku
hanya menghela nafas. Bukan sekali ini temanku curhat. Ada lagi yang sahabat
guru yang serasa pengen angkat tangan dengan kecuekan para siswa dalam
merespon tugasnya. Dari 24 siswa hanya 10 siswa yang mengumpulkan tugas. Itupun
sudah bagus daripada sama sekali tidak mengumpulkan. Karena sebenarnya kelasku
sendiri juga begitu. Separo mengumpulkan itu sudah bagus luar biasa. Lagi - lagi aku hanya terdiam dalam keresahan mendalam.
Iya,
saya pun sebenarnya juga galau, bagaimana memberikan pembelajaran yang
memahamkan, menarik dalam situasi seperti ini. Dua orang teman saya ini, bukan
orang yang pasif. Mereka guru yang selalu membuat inovasi, tegas, sering
memberikan games, membuat video pembelajaran menarik dan sering update pengajaran di Chanel
youtubenya. Nyatanya respon siswa
semakin hari semakin menurun.
Alasan
siswa tidak memiliki kuota ketika
ditanya mengapa tidak mengerjakan tugas? Sebenarnya adalah alasan yang masuk
akal. Namun beberapa waktu kemarin digelontorkannya bantuan pulsa dari
pemerintah untuk kuota siswa memang seharusnya
menjadi pemacu semangat untuk mengerjakan tugas. Seringnya sebagian anak – anak
tergoda untuk menggunakannya untuk hal lain. Apalagi ketika ketika kuota habis, mereka meminta orang tua untuk membeli kuota. Saat sudah diisikan ternyata lebih
banyak digunakan untuk berselancar di WA, games, tiktok atau stalking
Instagram. Orang tua yang sudah berusaha dalam himpitan ekonomi tetap membelikan kuota internet, terkadang
tidak dibarengi dengan usaha anak – anak untuk menggunakan fasilitas tersebut sebaik –
baiknya.
Dalam kegalauan tersebut, saya pun menghubungi
dua guru BP di sekolah. Mencoba untuk curhat juga, kira kira apa yang harus
dilakukan seorang guru menghadapi persoalan seperti ini. Dari ngobrol- ngrobol via
chat tersebut, Guru BK bertutur, selama ini guru BK telah mengupayakan sharing dengan siswa lewat WA, memang sekarang ini keaktifan siswa menurun,
ada yang beralasan lupa jika ada tugas, repot di rumah, bepergian bersama
keluarga, tidak paham materi tugas sehingga tidak mengerjakan, Namun alasan tertinggi
adalah tidak punya kuota. Kesimpulannya
seperti yang diutarakan guru BK, biar bagaimanapun siswa sekarang ini sudah
sampai titik jenuh belajar online. Meskipun kejenuhan tidak bisa
dibenarkan sepihak alasan karena gurunya,
ketika saat ditanya apakah guru sudah menarik pembelajarannya? Saya rasa semua
guru akan berusaha untuk mengatur strategi ini. Tetap mengupayakan bagaimana
siswa dapat belajar dengan paham.
Yang
jelas kita tahu, ramainya curhatan orang tua di media sosial yang merasakan ketersiksaan dan terpaksa menemani anak - anak
daring hingga membuat pusing. Ataupun banyak yang protes dan merasa tak sanggup
lagi menemani buah hati. Sampai – sampai ada yang membunuh anak sendiri. Adalah
bentuk kejenuhan para orang tua dan ketidaksiapaan harus mendampingi anak - anak belajar dengan berbagai kondisinya. Sekarang ini, tidak guru, tidak siswa, bahkan
orang tua memang tidak terlepas dari kejenuhan dan sesak emosi setiap hari.
Orang tua yang jenuh dengan keseharian anak di rumah yang kadang moody belajar,
anak yang jenuh belajar dengan ketidakpahaman materi yang di ajarkan tanpa
tatap muka. Guru yang seringnya juga dibaperi
siswa dengan tidak mengumpulkan tugas - tugasnya meskipun telah mengupayakan
pembelajaran daring terbaik. Satu hal yang harus digaris bawahi orang tua, siswa dan guru saat ini adalah" waktunya komunikasi bersama".
Sudah
lama tidak saling mendengarkan. Antara guru dengan orang tua dan sebaliknya.
Antara siswa dan orang tua, maupun siswa dengan gurunya. Siswa juga harus di
ajak bicara apa maunya, bagaimana pembelajaran selama ini? Apakah dia nyaman
dengan gurunya? Apa yang dirasakan? Apakah orang tua mendukung suasana belajar
di rumah. Hal – hal seperti ini yang bisa memotivasi siswa kembali untuk
belajar. Saatnya membuka ruang - ruang komunikasi meskipun lewat media maya.
Karena kita tidak mungkin saling mengerti dengan sama sama mendiamkan diri tanpa
adanya pemahaman dari hati ke hati.
Biar
bagaimanapun terkadang sikap guru yang sering memarahi atau menasehati siswa karena
tidak mengirim tugas adalah bentuk perhatian agar siswa mampu belajar dengan
baik dan disiplin. Bagaimanapun guru adalah murabbi yang menginginkan
terbaik untuk siswa - siswanya. Meskipun tiada tatap muka, tanpa sela canda, namun
tetap di alirkan ribuan doa. Samudera kasih Sang Gurunda yang tak terhenti
untuk anak-anak didiknya.
Semoga
pandemi segera berlalu, semoga kejenuhan segera tersapu. Saatnya kita buka
kembali ruang-ruang bicara dari hati ke hati. Saatnya menyingsingkan baju dan saling bekerjasama. Agar proses pembelajaran dan
tarbiyah tetap terpatri. Mari saling intropeksi diri. Selamat hari Guru
Sedunia. 5 Oktober 2020.