MENILIK BUDAYA ANJUK LADANG: WAYANG TIMPLONG

MENILIK BUDAYA ANJUK LADANG: WAYANG TIMPLONG

MERAWAT TRADISI MENEMUKAN JATI DIRI



 Dokumentasi : Bermain dan belajar bersama anak - anak Taman Baca Iqra'

Kota kelahiranku, Nganjuk adalah sebuah kota di Jawa Timur. Kota kemenangan yang hingga dijuluki Anjuk Ladang. Dilansir dari Wikipedia, Menurut J.G. de Casparis, Dahulu tersebutlah sekumpulan penduduk di suatu daerah yang membantu Empu Sendok dari kerajaan Medang atau yang disebut Mataram Kuno, menahan serangan pasukan Kerajaan Sriwijaya ( Sumatra) yang saat itu telah sampai di tanah tersebut.

Pertempuran itu membuahkan kemenangan bagi Pasukan Medang. Atas jasa tersebut, Empu Sindok memberi hadiah berupa tugu kemenangan atau status desa bebas pajak (daerah perdikan) . Daerah tersebut mendapat julukan Anjuk Ladang yang bermakna “ tanah kemenangan”. Dalam kalender Masehi, hadiah itu diberikan pada 10 April 937. Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai hari lahir Kabupaten Nganjuk.

Di tanah kemenangan inilah, saya menjalani kehidupan bersama dengan kearifan lokalnya. Masyarakat yang kebanyakan petani. Dari petani padi hingga bawang merah. Tak lupa destinasi Air Terjun Sedudo dan kuliner nasi pecel maupun nasi becek, yang tentunya membuat anak rantau “rindu” untuk sesekali pulang menengok  tanah kelahiran. Kota yang sering di sebut “ kota Angin” ini memang memiliki keunikan tersendiri.

Terlahir sebagai orang jawa, membuat saya menyukai wayang. Walaupun pengetahuan tentang sejarah ataupun tokoh - tokohnya masih sangat minim. Tetapi saya suka berlama – lama memandangi  keindahannya yang eksotik. Ya, siapa sih yang tidak bangga memiliki budaya bernilai tinggi. Wayang yang menggambarkan kekayaan jawa dan nusantara. Wayang, sebuah karya seni yang memiliki makna filosofis tinggi, seperti kehidupan itu sendiri.

Tak banyak yang tahu, bahwa Nganjuk memiliki warisan budaya yang cukup tinggi. Yaitu wayang timplong. Wayang Timplong sendiri merupakan Wayang khas dari Nganjuk, wayang ini unik berbeda dengan yang lain. Wayang Timplong merupakan salah satu dari puluhan jenis wayang yang “hidup” dalam khasanah seni budaya di Nusantara. Wujud badannya terbuat dari kayu pahatan, sedangkan tangannya terbuat dari kulit. Saat pementasan, kisah-kisah cerita yang dimainkan sang dalang pun berkisar sejarah di Pulau Jawa dengan segala pesan teladannya. Ini berbeda dengan wayang Purwa umumnya yang menceritakan kisah Mahabarata ataupun Ramayana.

Namun sayangnya, sekarang ini pertunjukan wayang kayu khas Kabupaten Nganjuk ini sudah tak seramai di era tahun 1990-an. Seakan ikut tergerus oleh gemerlapnya dunia hiburan modern. Seperti yang dituturkan Bapak Suyadi saat saya mengunjungi di kediamannya, Desa Panjen, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk. Pelestari Wayang Timplong sekarang ini memang hanya bisa dihitung dengan jari.

Dalam hal seni budaya, kesenian rakyat seperti Jaranan Pogog, Tayub, dan Wayang Timplong pernah tumbuh subur dan digandrungi warga Nganjuk.  Wayang Timplong merupakan bagian dari ritual dan sekaligus sebagai seni pertunjukan. Berdasarkan hasil penelitian Anjar Mukti Wibowo dan Prisqa Putra Ardany yang berjudul “Sejarah Kesenian Wayang Timplong Kabupaten Nganjuk” (2013), disebutkan bahwa kesenian tersebut pertama kali diciptakan oleh Mbah Bancol sekitar tahun 1910.

Mbah Bancol sebenarnya adalah pendatang dari Grobogan, Jawa Tengah, kemudian menetap di Desa Jetis, Kecamatan Pace. Mbah Bancol menciptakan Wayang Timplong karena terinspirasi oleh Wayang Krucil yang sangat ia sukai sejak kecil. Namun saat ia dewasa, ia ingin menciptakan wayang yang berbeda dengan Wayang Krucil. Mbah Bancol memilih membuat wayang dari kayu pohon waru, mentaos, atau pinus yang dibuat menjadi pipih.

Untuk musik iringannya, mulanya masih sederhana, yaitu terdiri dari gambang, ketuk kenong, kempul, dan kendang. Suara yang dihasilkan dari alat musik tersebut, terdengar di telinga didominasi oleh bunyi, “Plong, plong, plong.” Oleh karena itu, masyarakatnya kemudian menyebutnya sebagai Wayang Timplong. Sedangkan untuk kisah yang dimainkan oleh sang dalang, biasanya menggunakan kisah panji dan babad. Beberapa contoh judul kisah tersebut adalah Babat Kediri, Anjuk Ladang, Panji Asmoro Bangun, Panji Laras, Damarwulan dan lain - lain.

Seperti wayang lainnya, wayang Timplong juga sebagai alat menanamkankan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Tentu saja melalui cerita-cerita yang dipertunjukkan. Sayangnya, saat ini sudah jarang terlihat ada pertunjukan wayang tradisional ini, bahkan sekarang ini banyak remaja Nganjuk sendiri yang belum pernah mendengar nama Wayang Timplong ini. Fakta inilah yang yang membuat budayawan Nganjuk sedikit gelisah.

Dokumentasi : Pembelajaran Bahasa Arab MTsN 5 Nganjuk

Untuk mengenalkan Wayang Timplong, saya dan suami mengajak anak - anak di sekitar yang tergabung di Taman Baca Iqra, Desa Babadan untuk mempelajari wayang ini. Antusias mereka sangat tinggi. Saya juga bereksperimen dengan Wayang Timplong  sebagai media pembelajaran Bahasa Arab untuk meningkatkan kemampuan muhadasah (Keterampilan berbicara) di sekolah. Wayang Timplong menjadi media bermain peran yang ternyata membuat siswa tertarik dengan pembelajaran Bahasa Arab khususnya Maharah Kalam. Sebenarnya ada ragam cara untuk membuat anak mengenal budayanya, jati dirinya. Berharap anak – anak mengetahui salah satu kekayaan dari tanah kelahirannya, Nganjuk. Hingga mereka tidak melupakan dan teguh melestarikan budaya dengan segala kearifan lokalnya.