FROM ZERO TO HERO

FROM ZERO TO HERO

 



Mata anak itu lekat memandangku. Ahmad namanya. Selalu mengatakan suka belajar Bahasa Arab namun seringkali mengeluh kesulitan menjawab soal soalnya.

“ Bu Sofi kenapa suka Bahasa Arab” Tanyanya penasaran

“ Karena Rasulullah orang Arab, Al Qur’an juga berbahasa Arab dan….”

“ Karena Bahasa Arab adalah bahasa surga” Dia melanjutkan jawabanku. Kami tertawa. Memang setiap pembelajaran Bahasa Arab, selalu kumulai dengan pertanyaan “ Mengapa kita belajar Bahasa Arab? Dan anak anak akan menjawab nya dengan tiga jawaban  tersebut. Karena ketika anak – anak belajar sesuatu dan tahu tujuannya. Mereka akan lebih antusias mempelajarinya.

Ya, aku adalah guru Bahasa Arab di dua sekolah keagamaan. Tidak pernah mengira aku bisa sampai di sini. Pencapaian yang tidak mudah. Mengingat aku dulunya seperti Ahmad, kurang bisa memahami Bahasa Arab.

Ingatanku kembali pada masa menjadi siswa  ketika di kelas menengah atas. Saat itu aku  kesulitan mempelajari Bahasa Arab. Nilaiku tidak memuaskan  hingga sering dipanggil wali kelas dan ditanya kenapa nilai bahasa Arab ku seperti ini? Sementara nilaiku di mata pelajaran lain bagus.  Saat itu aku penerima beasiswa dari yayasan. Sehingga mau tidak mau aku harus serius belajar pada semua mata pelajaran. Aku hanya bisa diam, bertanya – tanya  kenapa sulit belajar bahasa Arab, padahal itu adalah bahasa kitab suci agamaku yang sering ku baca. Bingung sendiri jadinya.

Selepas lulus Aliyah aku diminta Ibu untuk melanjutkan kuliah jurusan D2 Pendidikan Guru MI di IAIN Tulungagung. Ibu berharap aku bisa mengajar di MI yang berada desaku. Yang dekat saja agar bisa menemani ibu, mengingat Bapak juga sudah tiada sejak aku masih kecil. Berbekal biaya seadanya aku berangkat melanjutkan pendidikan.

Tahun kedua perkuliahan, aku praktek mengajar di MI Tulungagung. Kuingat saat itu aku memegang pelajaran Bahasa Arab. Saat pertama kali bertanya pada mereka , aku bertanya, Apa pelajaran yang menurutmu paling sulit? Mereka menjawab Matematika dan Bahasa Arab. Aku jadi berfikir. Mengapa mereka seperti aku yang dulu. Kesulitan belajar bahasa Arab. Padahal Bahasa Arab adalah bahasa yang dekat dengan madrasah. Dari situ aku tergerak untuk mempelajari Bahasa Arab lebih dalam agar bisa mengajarkan Bahasa Arab kepada anak – anak dengan menyenangkan.  

Ibuku setuju setelah lulus D2 PGMI aku transfer ke prodi Bahasa Arab. Namun tiba – tiba kegelisahan itu muncul, rasa ragu mendera. Keraguan semakin dalam kala mengingat bagaimana sejarah ku sendiri menyelami Bahasa Arab di masa sekolah. Mampukah aku? Dengan latar belakang nilai Bahasa Arab yang selalu di bawah standar bahkan kurang?

Namun saat mengingat minat anak belajar Bahasa Arab yang masih kurang, semangatku kembali tumbuh. Dengan niat yang kuat aku mengambil jurusan ini. Bismillah…semoga Tuhan memudahkan doaku. Sebagai  bekal masuk perkuliahan nanti. Dengan bekal uang tabunganku sendiri aku memutuskan masuk kursus Bahasa Arab di Pare sebelum perkuliahan aktif kembali.

Aku tidak mengira ternyata teman sekelasku semuanya sudah mahir. Aku hanya bengong saja saat melihat mereka berdialog dengan Bahasa Arab dengan lancar. Aku hanya manggut-manggut saja seolah-olah mengerti padahal tidak paham. Kalau mereka tertawa juga ikut padahal aku tak tahu lucunya di mana.

Ketidakbisaan membuatku semangat belajar bahasa Arab. Bakda subuh sampai malam hari.  Jujur kepalaku setiap hari pusing. Karena pada dasarnya apa yang ku serap masih sangat minim. Saat aku kelelahan dan hampir putus asa , selalu ingat maqolah  Imam Syafi'i, jika kau tak tahan  lelahnya belajar maka kau akan menahan perihnya kebodohan. Serasa di aliri  energi baru.

Akhirnya waktu ujian tiba, aku mempersiapkannya dengan semangat. Namun terbersit sedikit kegundahan. Bisakah aku lulus? Saat penerimaan laporan nilai, aku pun resah. Siap jika nantinya tidak lulus walaupun juga sedih mengingat Ibu yang sudah mendukung sepenuh hati ekonomi. Akhirnya kubuka nilaiku,  aku terkejut ketika menemukan deretan angka yang menurutku tinggi,  dengan keterangan Lulus.

Aku menghampiri Ustadz Bahri, ”Ustadz, kenapa nilaiku tidak sesuai dengan kemampuan ku. Kemarin seharusnya aku mendapat nilai 5, kenapa di atas kertas sekarang menjadi 8? Bukankah itu membohongi diriku sendiri? “ Ustadz  tersenyum mendengar pertanyaanku.

            “Memang kau mendapat nilai 5, tapi semangatmu, perjuanganmu juga menjadi penilaian sendiri bagi ustadz. Ustadz tahu kau belajar dari nol, sedangkan teman temanmu dari lulusan pondok modern yang terbiasa bahasa Arab. Kalian sama-nsama berjuang. Jadi kau pantas mendapatkan nilai itu. Jika ternyata kau merasa belum pantas untukendapatkan nilai itu, maka berjuanglah agar kau layak dinilai kemampuan bahasa Arabmu dengan  nilai 8. Saya yakin suatu saat nanti kau akan benar benar pantas dengan nilai itu. Bahkan lebih”. kata Ustadz dengan penuh keyakinan. Mata jadi meleleh, terima kasih ustadz memberiku doa dan kesempatan untuk berjuang. Setidak harapan ustadz membuatku lebih percaya diri. Aku akan berusaha Ustadz.

Motivasi itu terus terngiang hingga aku berproses dalam perkuliahan. Terimakasih Tuhan untuk setiap skenariomu. Dari situ saya percaya bahwa kemampuan tidak selalu karena bakat, tapi juga usaha yang keras. Keberhasilan berawal dari 1 persen bakat dan 99 usaha yang terus menerus. Jika suatu saat nanti kamu ingin berhasil mengejar mimpimu, jangan pesimis. optimislah..terus berusaha dan berdoa sampai semesta mendukungnya. Dari yang kurang pun bisa jadi pemenang. From Zero to Hero.