MENGHIDUPKAN TOLERANSI
Sudah
bukan menjadi hal yang tabu lagi untuk di dengar, ketika ada semacam kumpulan
warga setempat membahas suatu hal yang dibutuhkan kesepakatan bersama untuk
mencapai titik temu dari berbagai permasalahan yang menyangkut kehidupan
mereka.
Dalam hal ini, “wasit” sepertinya
sangat diperlukan, dengan tujuan agar tidak terjadi pro dan kontra secara
berkepanjangan atau kontroversi yang dinilai berlebihan di antara mereka.
Pada realita kehidupan yang dipenuhi
keberagaman ini, perbedaan pendapat hampir tidak pernah bisa dihilangkan.
Selalu saja ada satu dua orang yang tidak dapat menerima usulan dari orang
lain. Ada juga yang menolaknya dengan cukup kasar yang tidak dilandasi dengan
konsep serta argumen yang tidak mendukung.
Kita semua memang ditakdirkan untuk
menjadi makhluk yang berbeda-beda, dengan tujuan agar dapat mengambil hikmah
dan dapat mengenal lebih jauh mengenai sikap seseorang serta tanggapannya
tentang sebuah hal yang tidak selaras dengan apa yang mungkin tidak mereka
sukai.
Ambil contoh sebuah acara pengajian
bersama yang biasa terjadi di kampung-kampung. Ketika rapat untuk kali pertama
dibuka, semua manggut-manggut, mendengarkan dengan seksama, mulai dari
pembukaaan, pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dan yang lainnya. Nah, pada saat
pemilihan, siapa yang akan mengisi mauidhoh hasanah inilah yang biasanya
muncul perbedaan pendapat di antara mereka. Golongan yang sudah berpengalaman
dan sudah sekian tahun menjadi panitia dalam acara ini, selalu mengatasnamakan
da’i yang lebih rileks, santai dan tahu bagaimana caranya agar masyarakat dapat
merasa nyaman mendengar mutiara kata darinya. Untuk yang lain? Sepertinya
tidak. Ada juga sebagian warga yang lebih memilih agar mauidhoh hasanah
diisi saja oleh para alim ulama’ yang sudah tidak diagukan lagi keilmuannya, lebih-lebih
dapat mengundang habib kondang di kota-kota besar.
jika dua golongan di atas tidak ada
satu pun yang mau mengalah, bisa dipastikan tidak akan pernah ada kesepakatan
di antara mereka. Atau mungkin juga, acara akan dibatalkan dengan sederet
alasan yang sepele- tidak adanya sifat toleransi yang tumbuh di hati mereka.
Ada yang
ingin mengundang para kyai atau para alim ulama’ dengan berbagai pertimbangan
yang ada. Sebaliknya, ada juga yang ingin mengundang ustadz kampung yang
terbiasa menampilkan tawa disetiap dalil syar’i yang dikeluarkannya.
Dengan dalih, dua jam mauidhoh hasanah diisi dengan renungan semata,
mata siapa yang tidak mengantuk dibuatnya? Barangkali itu alasan sebagian orang
yang lebih memilih da’i atau ustadz yang biasa-biasa saja, tetapi dapat
menghibur masyarakat yang hadir di tempat acara.
Kedua alasan mereka sebenarnya tidak
ada yang menyimpang. Semuanya benar, tidak ada yang pantas untuk disalahkan.
Lantas, bagaimana solusinya?
Jawaban dari permasalahan di atas
tentu bukan sekadar menyuruh salah satu pihak untuk mengalah. Atau justru ketua
panitia penyelenggara memilih salah satu dari usulan mereka dengan
mempertimbangkan berbagai maslahah dan mafsadah-nya terlebih
dahulu. Ini bukan toleransi namanya.
Dalam
mengambil tindakan, terutama bagi mereka- para pemimpin atau ketua- sudah
selayaknya bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pandai
mengintropeksi sekitar, cerdas dalam mengambil keputusan yang- seperti yang
kita tahu dalam problema di atas-
membutuhkan jawaban pasti tanpa adanya sebuah pertentangan diantara
kedua belah pihak.
Ibarat
kata, ada dua orang yang berseberangan masalah menu makanan favorit mereka.
Satu daging kambing, dan yang satunya gemar makan bakso. Mau tidak mau, jika
kita tidak pandai merelasikan apa yang mereka suka, kita akan dibenci. Dan,
andai kita menafsiri pengertian memilih itu adalah menempatkan sesuatu pada
tempat yang semestinya, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa, jika kedua
orang tersebut bertamu ke rumah kita, mau tidak mau kita harus membuat bakso
yang diselipi daging kambing didalamnya. Dengan begitu, semua merasa dihargai,
semua merasa senang tanpa ada pihak yang tersakiti.
Sebab
memilih, tidak harus mengabaikan yang satunya, lebih-lebih mengacuhkan.
Jika
sudah seperti ini, jawaban yang paling tidak bisa menengahi adalah, mencari
da’i kondang atau ustadz terkenal yang alim ulama’ sekaligus mampu
membuat orang yang mendengar ceramahnya terhibur, bukan saja sekadar
mengeluarkan dalil-dalil dari al-Quran maupun Hadits yang sudah pasti akan
membuat orang merasa jenuh setiap kali mendengarnya.[]