TAWADLU' SANTRI
Seringkali di pondok-pondok pesantren salaf pada umumnya. Memiliki santri yang rela untuk membantu Kyai dan keluarganya mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Mereka membantu dengan segenap tenaga. Rela melakukan apapun seperti layaknya pembantu rumah tangga. Seseorang yang mereka
anggap “raja” tersebut juga manusia, juga memiliki salah. Mereka kerja
siang-malam dengan Kyainya juga tidak digaji. Kenapa sampai mati-matian untuk
mengabdikan diri? Bahkan seorang santri dianggap sukses di pondok bila sudah
lebih dari cukup membantu pondok pesantren dengan berbagai hal yang bisa ia
sumbangkan. Apakah harus dengan berkhidmah, agar kita bisa diakui sebagai
santri? Apakah bila kita tidak ingin berkhidmah kita tidak dianggap
santri oleh Kyai yang mengasuh pondok tersebut?
***
Menjadi hamba yang baik, tentu tidak
sekadar menerima saja segala tuntutan Tuhan yang dibebankan kepada kita, juga
tidak semudah bersyukur setiap kali ada rizki yang datang kepada kita. Kalau
Tuhan menghendaki kita menjadi hamba hanya untuk menerima dan pasrah, tentu
tumbuh-tumbuhan dan hewan lebih tepat dibanding kita. Sebab, tidak ada rasa
penyesalan dalam diri mereka. Mereka menerima takdir yang telah digariskan
dengan lapang dada.
Namun
terkadang, banyak dari kita yang terkadang sering tidak bersyukur atau pun
menerima setiap kebijakan Tuhan, lebih-lebih ingkar dan protes saat bagian yang
seharusnya milik kita, diberikan oleh orang lain. Panggil saja orang seperti
ini dengan sebutan “iri”.
Abdun atau hamba yang
dikehendaki oleh Tuhan adalah menjadi manusia yang berbakti sepenuhnya
dengan-Nya. Kita sholat, puasa, zakat, dan segala macam tuntutan ibadah baik
yang bersifat wajib maupun yang bersifat sunnah tak lain hanya untuk menunjukkan
seberapa layak kita menjadi hamba-Nya. Semakin dekat kita dengan-Nya, maka
semakin layak kita mengetuk pintu surga karena ketaqwaan dan rasa kasih sayang
yang Tuhan berikan kepada kita. Inilah yang dimaksudkan dengan, “Manusia yang
paling dekat dengan Tuhan adalah manusia yang paling bertaqwa di sisi-Nya.”
Apakah ketika kita tidak sholat, tidak
puasa, lantas kita tidak dikatakan islam?
Yang menyebabkan kita kufur itu bukan tidak
sholat, melainkan tidak meyakini akan kewajiban sholat.
Sama seperti permasalahan santri di
atas.
Ketika kita ingin dikatakan sebagai
santri oleh Romo Kyai, sudah selayaknya kita berkhidmah untuk mereka,
untuk pondok pesantren. Dengan harapan, agar kita diakui sebagai santri dan
nama kita selalu terselip diantara do’a-do’a beliau.
Memang, para Kyai juga manusia biasa
yang juga menyimpan kesalahan. Namun, yang membuat para santri berlomba-lomba berkhidmah
pada mereka adalah, mereka lebih tahu dan lebih mengerti tentang ilmu agama.
Hati mereka lebih bersih, lebih bening, lebih suci. Do’a yang mereka panjatkan
bisa dikatakan mustahil untuk tidak dikabulkan. Do’a yang berisi rentetan
permintaan untuk para santri-santrinya agar menjadi manusia yang baik budi
pekertinya; menjadi manusia yang bertaqwa dan selalu berjalan dalam koridor
agama; menjadi manusia yang mampu menunjukkan jalan hidayah untuk masyarakat
kelak ketika ia telah pulang ke rumahnya.
Meski kita tidak berkeinginan berkhidmah
di pondok pesantren, kita tetap akan diakui sebagai santri oleh beliau.
Hanya saja, tingkat ke-santri-an kita masih jauh dibawah mereka-mereka yang
setiap hari meneteskan keringatnya demi mendapatkan percikan doa dari para
Kyai.
Sehebat apa kita, sehingga merasa
sombong akan bisa sukses dunia-akhirat?
Dan
tanpa tetesan do’a dari para Kyai, apakah kita bisa menjadi “santri” yang layak
sukses nantinya?